PROLOG

113 7 2
                                    

suara derap langkah terdengar begitu tergesa-gesa. Seorang wanita paruh baya terlihat berlari dengan tergopoh-gopoh meuju meja tinggi yang berada di pusat koridor lantai empat ini. Rautnya terlihat sangat cemas. Sesampainya di tempat yang di tuju ia langsung mengutarakan maksudnya pada wanita yeng di temuinya. Wanita dengan pakaian serba putih itu menghambur ke salah satu ruang VIP yang ada tak jauh dari tempat mereka berada.

Tampak dalam ruangan itu, seorang wanita paruh baya yang terbaring lemah di atas ranjangnya, wajahnya pusat pasi dengan keringat dingin membanjiri hampir seluruh bagian wajah dan lehernya. Matanya terpejam, namun ia tak sedang terlelap dia hanya tak sanggup membuka matanya, nafasnya cepat dan dangkal, dan ada darah segar yang terus mengalir dari pangkal pahanya.

Spontan ia langsung memegang tangan sang pasien,dingin,lanjut meraba nadinya, lemah dan dalam,syok,itu kesimpulan yang langsung muncul di otaknya mendapati gejala yang muncul.
Dengan sigap ia mengambil tensi yang ad di dekatnya, dengan sangat teliti ia ukur tekanan darahnya, 70/40, lalu ia raba nadinya yang sangat lemah, ia fokuskan pikirannya mencoba merasakan denyutan nadi sang pasien lalu ia hitung dengan sangat teliti sembari menatap jam yang ada di dinding, 110x/ menit,ku lanjutkan dengan melakukan pemeriksaan vital yang lain. Setelah itu ia melaporkan hasil pemeriksaannya pada wanita yang tampak lebih senior yang datang tak berapa lama dari wanita tadi.

"sena, pasang infus 2 line dan ambil injeksi Tranexid" instruksi sang senior sigap pada wanita tadi.
Sementara dia sendiri langsung menuju telpon di ruangannya untuk melaporkan kondisi pasiennya pada dokter jaga saat itu.

Kontan saja wanita yang di panggil Sena itu langsung menuju ke kamar obat, ia mengambil ambil obat yang dimaksud dan di isapnya ke dalam spuit lalu ia mengambil iv catheter, cairan infuse, blood set dan beberapa perlengkapan lain yang sekiranya di butuhkan. Dia begitu cekatan dalam melaksanakan semuanya. Kemudian ia pun segera kembali ke ruangan tadi.

Sesampainya di ruangan tadi, ia langsung memakai handscoen dan langsung menginjeksikan obat itu melalui IV port di selang infuse si pasien, setelah itu ia beralih ke salah satu sisi sang pasien, ia pasang tourniquet, sejenis ban elastic, setelah itu dia meneliti setiap senti punggung tangan sang pasien, mencari vena yang dapat ia tusuk di antara vena-venanya yang mulai colaps karena kehilangan banyak darah.

Dengan sekali tusukan ia tancapkan ujung iv catheter itu ke punggung tangan si pasien, sekilas ia perhatikan pangkalnya, ada darah yang masuk menandakan eksekusinya berhasil mengenai sasaran, sekilas ada raut lega terpasang di wajahnya, dia cukup bersyukur karena masih mampu mengeksekusi tindakannya dengan baik, rasanya dia sangat kasihan jika dia harus mengulangi prosedur yang menyakitkan itu. Ia lalu menyelesaikan prosedurnya memasang infuse sampai infuse itu terfiksasi dengan baik di tangan sang pasien yang sudah terasa dingin sejak tadi.

Setelah itu, dia beralih ke bagian bawah sang pasien. Di singkapnya kain yang menutupi bagian bawah sang pasien. Tampak darah segar masih mengalir dari dalam bagian kewanitaan sang pasien. Aku kemudian langsung membersihkan daerah selangkangannya yang berlumuran darah.

Bersamaan dengan itu Ana, sang senior yang tadi menghubungi dokter jaga telah masuk ke ruangan dengan beberapa peralatan di tangannya. Ia lalu meletakkan barang-barang yang di bawanya dekat Sena yang sedang bergelut dengan darah, ia lalu membantu Sena untuk memasang tampon untuk menghentikan pendarahan sang pasien, sesuai dengan instruksi dokter yang tadi di hubunginya.

"ibu,,ibu,, ibu Lidya"panggil Sena pada pasiennya.

"hmm....." gumamnya sangat pelan, menandakan bahwa ia belum kehilangan kesadarannya

Setelah itu ia lalu membersihkan sisa darah di tubuh pasien itu yang tak lagi mengalir seperti tadi, kubersihkan sekitar daerah selangkangannya menggunakan waslap yang telah dibasahi dengan air, lalu ku ganti pakaian bagian bawahnya.

"maaf yach sus, jadi merepotkan" gumam ny. Lidya lemah, setelah ia berhasil membuka matanya, pandangannya sayu.

Spontan mereka memasang senyum " nda apa-apa kok bu, sudah menjadi bagian dari tugas kami."jawab Sena dengan bijak, " yang penting ibu selamat, dan perdarahannya berhenti". Sambungnya, Ana pun mengangguk mengiyakan perkataan juniornya itu.
*****

Called It LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang