WAR

18 3 2
                                    

Separuh berlari aku menyusuri koridor lantai 4 Hareux hospital.

"Maaf terlambat"engah ku saat sampai di nurse station.

Ku lihat hanya tertinggal 3 orang perawat yang ada, ku alihkan pandangan ke jam didinding tepat menunjuk pukul 3, pasti yang shift pagi sudah pada pulang semua dan yang tersisa adalah rekan ku untuk shift sore ini.

"Tumben telat banget bu"rara yang pertama kali menegur ku.

"Something happent"kataku seraya meletakkan tasku dalam loker ku di ruang istirahat kami.

Masih dengan nafas terengah aku mengahmpiri mereka semua di meja jaga.

"Habis dari mana bu?ngos-ngosan gitu"kali ini kak nova yang berkomentar.

"Habis marathon kak"jawabku setengah bercanda.

Bagaimana aku tidak ngos-ngosan seperti habis perlombaan marathon, setelah kejadian yang cukup menguras emosi tadi, aku harus menerima ceramah tanpa henti gara-gara aku telat menjemput ibu ku di tempatnya biasa belanja, Karena aku harus keliling dulu mencari something dan yang apesnya lagi saat aku menemui ibuku dia sedang dengan beberapa teman rumpinya maka bertambah lama lah aku harus meladeni ibu-ibu itu dengan pembicaraan yang pasti paling aku hindari. Belum selesai sampai di situ, ibuku melanjutkan ceramah rohaninya yang memang sebenarnya belum selesai sejak tadi saat melihat kondisi si rush yang agak ancur.

Akhirnya kami sampai di rumah sudah cukup terlambat. Alhasil aku harus berlarian untuk bersiap berangkat ke rumah sakit. Belum lagi di perjalanan aku terjebak macet, lengkap sudah lah penderitaan ku hari ini.

*****

Matahari hampir kembali ke peraduannya menyisakan semburat cahayanya yang berwarna orange yang menembus dinding kaca saat aku berjalan menyusuri koridor ini menuju salah satu ruangan yang cukup sering aku kunjungi. Di tangan kanan ku saat ini sedang menggantung sebuah plastik berwarna putih, bungkusan ini terasa cukup berat mengingat isinya yang juga cukup banyak.
Baiklah ini langkah awal untuk peperangan melawan manusia paling tidak punya sopan santun dan etika, siapa lagi kalo bukan that damn guys.

Tok tok tok

Setelah mengetuk aku langsung meraih kenop pintu dan memutarnya.

"Permisi bu lidya,,boleh saya masuk?' sapalu saat kulihat wanita yang sedang duduk di atas ranjang itu menatap ke arah pintu.

"Tentu saja nak sena, masuklah" senyumnya ramah.

"Ada ap nak, apa ada suntikan atau pemeriksaan lagi?" tanyanya lagi

"Owh tidak ibu, aku hanya ingin menitipkan sesuatu" sahutku mengangkat bungkusan yang kubawa lalu meletakkannya di atas meja terdekat.

"Untuk siapa nak?"

"Untuk putra anda bu, Arkha. Tadi saya tidak sengaja bertemu dengannya di salah satu pusat perbelanjaan dan sepertinya dia membutuhkan lebih banyak referensi jadi saya bawakan"ujar ku menjelaskan maksud bungkusan ku.

Ku lihat dahi bu lidya mengerut, tampak dia tidak paham dan sedang mempertimbangkan perkataanku. Aku hanya dapat tersenyum maklum.

"Ibu tidak perlu bingung, anak ibu pasti sangat berterima kasih dengan pemberian ku ini"aku mencoba untuk meyakinkannya.
"Pokoknya ibu hanya perlu memberikan ini kepadanya"sambungku sambil menyentuh bungkusan itu.

"Kalau begitu saya permisi dulu bu, saya harus melanjutkan pekerjaan saya"

Belum terpuaskan rasa penasaran wanita paruh baya ini tapi aku memutuskan untuk meninggalkannya. Rasanya tidak etis bila aku harus menjelaskan duduk persoalan sebenarnya biarlah kalau memang dia harus tahu biar dia mengetahui dari putranya sendiri. Lagi pula jika aku terlalu lama di tempat ini dan tiba-tiba si Arkha itu menemukanku disini bisa-bisa dia berpikiran yang macam-macam lagi dan memancingku untuk bertengkar didepan pasien ku ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 08, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Called It LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang