Matahari menyembul dari balik langit, membelah kesunyian langit malam dengan cahaya kemerahan yang memancar. Setidaknya, hal itu yang tertangkap oleh sepasang netraku.
Udara dingin yang sempat menusuk mulai menghangat seiring fajar yang semakin meninggi tersebut. Aku yang telah bertengger sejak pukul tiga pagi tentu saja menyambut baik hawa hangat tersebut.
Setidaknya, masih ada kehangatan yang bisa aku rasakan.
Aku sesekali menyesap puntung tembakau yang tidak tersulut api. Aku sendiri tidak tahu, kenapa aku menyelipkan benda adiktif ini di antara bibirku. Berlagak seperti seorang perokok. Hanya, seperti sudah menjadi kebiasaan. Entah sejak kapan.
Setidaknya, ada rasa manis di bagian pangkal rokok tersebut. Mungkin karena itu aku betah melakukannya.
Aku menghela napas gusar. Mengacak rambutku perlahan. Mendelik tajam pada objek yang masuk ke pekarangan rumah. Untuk apa Bajingan itu pulang ke sini. Sempurna, kedatangannya sukses membuat pagiku hancur. Seketika dan telak.
Sejak pertengkaranku dengannya beberapa minggu lalu dia lebih sering mampir ke sini. Memuakkan, apa dia sedang bermain opera sabun dengan mencoba tiba-tiba peduli pada anak biadabnya ini.
Aku lupa, hidupku memang seperti opera sabun. Pun aku tertawa parau menertawakan kehidupanku yang menjijikan.
Aku pun beranjak dari balkon kamarku. Membuang nikotin yang sempat menyelip di bibirku. Jadi tua bangka ini rindu dengan anaknya?
Sebagai anak yang baik tentu aku harus menyambut kedatangannya, bukan begitu? Spontan, aku segera memacu langkahku menuju beranda rumah.
Tua bangka itu tengah sibuk menyesap puntung rokoknya, mengepulkan asap pada radiusnya. Ia harusnya berada di bar jika sekedar ingin merokok.
Aku berdecak sebal sembari melayangkan tatapan permusuhan yang kentara. Memberikan atmosfer penuh penekanan pada interaksi di pagiku yang hancur.
Ia menoleh, seolah tersadar ada pemuda yang menatapnya nyalang dari balik pintu kaca tersebut.
"Kenapa Re?" tanyanya dengan wajah tak berdosa sembari menghembuskan asap biadab itu dengan tenangnya. Dia kembali memalingkan wajahnya menatap pekarangan rumah.
aku mendengus muak, apa tadi dia bilang kenapa? Apa dia tak mengerti! Ini masih pagi, dan dengan seenak jidatnya bedebah ini meracuni jatah udara bersih yang telah Tuhan kirimkan padaku.
Dasar tak tahu malu!
Aku berbalik, memacu langkahku menuju kamar mandi dengan rasa muak yang memuncak. Netraku menelisik sekitar, hingga akhirnya tertuju pada gayung yang terisi penuh oleh air.
Spontan, aku segera melaju mendekati sialan itu yang masih sibuk menghisap batang nikotinnya. Dalam sekali pergerakan aku menumpahkan air tersebut di atas kepalanya.
Aku tersenyum sinis, puas dengan sulutan api yang akhirnya padam tersebut. "Maaf, beranda rumah saya bukan tempat merokok. "
aku pun berlalu pergi meninggalkannya. Tak acuh pada umpatan yang ia lontarkan padaku. Dia benar-benar marah padaku. Sambutanku ditanggapi dengan baik ternyata.
Lihat, aku memang anak baik. Mana ada anak sepertiku yang repot-repot memandikan ayahnya begitu ia tiba di rumah. Aku memang pintar menyambut seseorang.
Ah, alasan aku tidak pernah menyulut gulungan tembakau. Aku tau sekarang. Aku tak sudi punya kebiasaan yang sama dengan tua bangka brengsek itu.
21-01-2017

KAMU SEDANG MEMBACA
It's About Revan
Teen FictionTujuan hidup Revan hanya dua, yaitu; 1. Bertemu kembali dengan ibunya. 2. Memutuskan hubungan dengan ayahnya. Ya, itu dulu. Semua terpaksa berubah karena kehadiran seorang gadis piatu di hidupnya. Mulai saat itu juga, kepingan demi kepingan yang...