Terhebat

447 37 2
                                    

Closer to the edge

Terhenti. Alunan musik yang sempat menggema memenuhi seantero rumah kini sirna. Seorang tua bangka mematikan sound system di kamarku tanpa permisi. Aku menoleh dan menatapnya tajam.

Dia kini berdiri di samping deretan benda pengeras volume tersebut.“Revan, ayah perlu bicara sama kamu.”

Aku pun bangkit, ikuti saja apa yang bajingan ini inginkan aku sedang malas berdebat.

“Kamu ada masalah sama ayah? Bilang, jangan kayak anak kecil, kamu udah cukup dewasa,” tandasnya.

Aku mendengus, dia berpura-pura bodoh atau memang bodoh.”Maaf, Anda tahu darimana kalau saya tidak pernah memberi tahu Anda. Saya kecelakaan pun Anda tidak akan peduli.”

“Revan, saya ini Ayah kamu, berhenti panggil Ayah dengan kata Anda," Ucapnya sok ingin dihormati, padahal menghormati orang lain saja tidak pernah.

“Ayah? Saya tidak salah dengar, kan?  Atau mungkin mulut Anda yang bermasalah,” balasku sembari menatapnya datar, aku ingin lihat bagaimana reaksinya terhadap perkataanku.

Dia mencengkram bahuku kuat, menggoyangkannya pelan dengan kedua alis yang bertaut.“Ingat, dulu kamu selalu bilang ayah orang yang paling hebat.” Harus sekali ya membawa-bawa masa lalu, dia memang seorang pengecut mengalihkan pembicaraan seenaknya.

“Justru karena hal itu,” aku menyingkirkan cengkramannya dari pundakku,"karena orang yang saya hormatilah yang menyakiti saya. Bayangkan seberapa kecewanya Anda kalau jadi saya.”

Aku berlalu melewatinya yang kini sedang membeku di ambang pintu. Aku tak tahu ekspresi apa yang dia pasang, dan aku tak ingin peduli. Biar saja seperti ini, menjadi orang asing disaat berbagi darah yang sama. Toh, hubungan kita hanya sekedar silsilah tanpa kepedulian dan kasih sayang seperti keluarga lainnya.

Aku berhenti sejenak, menoleh padanya lantas berkata,“Oh iya, dulu Anda memang ayah saya, sebelum tangan kotor itu melayangkan tamparan ke wajah bunda. ”

It's About RevanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang