"Revan!" serunya tepat ketika aku baru saja menginjak pekarangan rumah. Apakah benar-benar harus sekarang? Aku baru saja pulang ke rumah dalam kurun waktu kurang dari lima belas detik.
Aku tidak ada minat untuk berdebat dengan orang sialan sepertinya.
"Pukul 3 subuh dan kamu baru pulang? Hebat sekali."
Sambutan yang ayah berikan padaku kelewat manis. Lihat, dia rela menungguku hingga selarut ini, andai saja dia melakukan dengan penuh kasih sayang dahulu. Faktanya dia tidak melakukannya.
Aku berjalan menuju pintu rumah, dengan gontai dan penuh hawa permusuhan. "Benahi dirimu dulu, keparat."
Aku meninggalkannya yang masih terus dan selalu mengumpatku. Aku jadi menyadari sesuatu, interaksi kami pasti diakhiri dengan umpatan, sungguh hubungan orangtua dan anak yang romantis, bukan?
"Dasar anak nakal, kau sampah, Revan!"
Aku tersenyum miring, cenderung meringis. Apa tadi dia bilang? Sampah? Dia benar-benar perlu berkaca mengenai kehidupannya sebelum menyebutku sampah.
Aku tertawa parau, menggema di seantero rumah. Hatiku mencolos, umpatannya kali ini sangat kelewatan. Apa aku bilang? Kita romantis.
"Benahi dirimu dulu, keparat bajingan, " tandasku penuh amarah, sekuat tenaga menahan tanganku yang telah gatal ingin melayangkan tinju dan membuanya tersungkur sekarat di lantai.
Aku tak habis pikir, memangnya aku begini karena siapa? Perlu diingat orang yang dia sebut sampah ini adalah darah dagingnya.
Apa dia tau rasanya harus selalu menunggu di tengah keheningan yang mencekam. Sendirian di rumah yang terhampar luas. Ditemani petir dan kilat yang selalu datang menyapa. Aku yang ketakutan dengan polosnya menanti kehadiran keparat itu. Mengaitkan pengharapan pada orang kotor sepertinya.
Lantas apa yang kudapatkan dari penantian tanpa ujung itu. Dia yang hanya melenggang pergi menuju ruangannya tanpa peduli keadaanku.
Egois? Kekanakan? Mungkin akan lebih baik jika dia hanya tak mengacuhkanku. Belum puas membuatku merasa terasingkan, sesekali dia membawa jalang yang selalu berbeda menuju kamarnya, bunyi tawa dan cekikan manja yang membuatku mual selalu beresonansi di rumah sunyi ini.
Apa aku masih tidak boleh menjadi kekanankan dan egois.
Hey!
Jangan salahkan aku, jikalau aku menjadi anak yang dia sebut Nakal.
Aku hanya mencari tempat dimana aku mampu menjadi pusat perhatian.Tempat dimana, aku tak hanya diam terduduk mendengar dentingan jarum jam hingga larut malam.
Tempat dimana, aku tak lagi menunggu decitan kayu ketika pintu kelam itu terbuka, dan menampakan sesosok lelaki dengan kantung mata yang semakin membesar.
Tempat dimana aku tak kesepian lagi.
Jangan salahkan aku.
Aku hanya lelah menanti hingga larut malam. Tanpa kepastian. Dalam pengharapan yang penuh ketidakjelasan.
Tak apa, bukan? Jika aku juga pulang larut malam.
Lagipula, keparat itu juga tak peduli lagi padaku. Dia terlalu sibuk bermain bersama para jalang.
23-01-2018
KAMU SEDANG MEMBACA
It's About Revan
Ficção AdolescenteTujuan hidup Revan hanya dua, yaitu; 1. Bertemu kembali dengan ibunya. 2. Memutuskan hubungan dengan ayahnya. Ya, itu dulu. Semua terpaksa berubah karena kehadiran seorang gadis piatu di hidupnya. Mulai saat itu juga, kepingan demi kepingan yang...