Dia

225 9 0
                                    

 Seorang wanita menatap laptop dihadapannya dengan serius. Sesekali ia menyesap secangkir americano yang ada di depannya. Kopi espresso encer melewati kerongkongan wanita itu, menimbulkan sesasi menyenangkan yang selalu disukainya. Pahit. Panas. Encer.

"Nice. Lo nyuekin gue lagi. Kenapa nggak sekalian lo pacarin aja tu laptop," sungut seorang wanita lain di hadapan wanita bernama Adrien yang sibuk dengan laptop dan americanonya.

"Oke. Oke. Sorry. Gimana?" Adrien mematikan laptopnya dan mencoba fokus pada sahabatnya. Mungkin gue bisa minta Bell nunda deadlinenya. Dasar ni kunyuk ganggu gue kerja aja, batin Adrien.

Asha, wanita dengan rambut bergelombang berwarna cokelat tua sepunggung yang membingkai wajah manis wanita itu menampakkan mata berbinar saat Adrien mulai serius akan mendengarkan ceritanya.

"Kemarin si Dylan ngelamar gue di depan bokap nyokap gue. Astaga, Drien lo ngga tau seseneng apa gue," Adrien tersenyum. Ia senang akhirnya Dylan, sahabat sekaligus kekasih Asha yang juga sahabatnya akhirnya mau serius dengan wanita itu.

"I'm happy for you, dear. Jadi kapan gue bisa makan gratis di resepsi lo?"

"Kere banget lo. Besok pas resepsi, khusus lo kalo mau makan, bayar!" Ia tertawa sesaat, "rencananya sih akhir tahun." Akhir tahun ini, itu artinya tinggal 4 bulan lagi.

"Jahat banget lo Sha. Kita kan udah temenan dari masih sama sama jadi orok. Btw, Gila aja lu akhir tahun. 4 bulan lagi. Gue yakin lo belum nyiapin apa apa." Tepat seperti dugaannya, Asha menggeleng dan menunjukkan cengirannya. Senyum tanpa dosa yang amat dikenalnya sejak kecil.

"Yaudah deh, gue bantuin sebisa gue." Setelah helaan napas, Adrien mengangguk angguk.

"Beneran? Gue sayang lo Drien." Asha memeluk Adrien spontan.

"Jauh jauh lo. Ntar kita dikira hombreng gimana nyet? Gue straight. Jomblo lagi. Nah lo enak udah ada pasangan. Nah gue?" Adrien mendorong tubuh Asha.

Adrien kembali meneguk americanonya. Adrien menoleh ke arah Asha yang memanggilnya, "kapan.. Lo bakal.. Cari pengganti Revan?"

Pertanyaan itu, sangat sensitif bagi Adrien. Wanita 27 tahun itu menegang sesaat sebelum kembali menyesap kopinya dan kembali rileks. Revano Henry Elardo, mantan kekasih Adrien yang meninggalkan gadis itu tepat sehari sebelum pertunangan mereka, 2 tahun lalu. Revan lari bersama cinta pertamanya, Claire yang baru kembali dari Boston, Amerika dan meninggalkan Adrien tanpa penjelasan.

"Memaafkan itu mudah. Tapi tidak dengan melupakan. Kres kres nggak tu kalimat?" Adrien akan menjawab dengan kalimat yang sama setiap kali Asha atau Dylan atau siapapun menyinggungnya tentang Revan.

"Drien.. Mungkin lo kudu buka hati lo sekali lagi." Semenjak 2 tahun lalu, Adrien tak pernah tahan dekat dengan laki laki. Terkecuali dengan papanya, Dylan dan kakak lelakinya, Yudith.

"Kapan lo bakal minta ditemenin fitting kebaya?" Setelah terdiam cukup lama, Adrien membuka mulutnya dan malah mengalihkan topik.

"2 minggu lagi kayaknya. Seminggu ini, kerjaan gue numpuk. Bos gue yang baik hati nggak ngasih gue cuti buat nyiapin pernikahan gue. Liat aja besok kalo anaknya nikah." Gerutu Asha, Adrien tertawa. Asha bekerja di sebuah brand kosmetik.

"Terus, sekarang si Dylan calon suami lo yang biasa ngintilin lo terus kemana?" Adrien lupa menanyakan keberadaan Dylan yang biasanya akan selalu menempel pada Asha seperti selembar perangko pada surat.

"Jemput temennya di Bandara, baru balik dari Amsterdam katanya. Lo tahu Wiryatama Group?" Adrien mengangguk. Siapa yang tak tahu mengenai perusahaan kontraktor terbesar di Asia Tenggara itu?

"Temen Dylan salah satu CEO disana, pewaris utama malah. Dylan bilang, temennya itu abis ngunjungin mbahnya di Belanda." Jelas Asha.

Emangnya gue nanya ya? Kenapa pake ngejelasin soal orang yang bahkan liat mukanya aja gapernah? Tanya Adrien dalam hati.

"Wuih. Nggak nyangka tu kupret punya temen tajir abis." Jawab Adrien basa-basi. Yah.. Wanita itu tak benar benar terkesan.

"Oh ya, lo dateng nggak?" Tanya Asha.

"Kemana?" Adrien menatap bingung.

"Pesta pembukaan hotel baru punyanya keluarga sepupu Dylan. Minggu ini," Adrien hanya menjawab dengan 'Oh' dan menggeleng.

"Gue nggak diundang. So, gue nggak pergi," jawab Adrien enteng.

"Dylan ngajakin gue. Tapi katanya dia nggak bisa jemput. Biasalah kerjaan. Nah lo tau sendiri gue nggak bisa nyetir. Lo mau nganterin gue kan?" Nada memohon sangat ketara dalam pertanyaan Asha, yang sebenarnya lebih menjurus ke pernyataan yang tak dapat dibantah.

"Oke oke. Gue tau lo nggak akan ngebolehin gue nolak. Kampret, gue dijadiin supir." Asha terkekeh melihat ekspresi jengah di wajah Adrien.

"Kalo gitu gue cabut dulu. Ntar dicariin mama lagi." Asha melenggang pergi dan melambai. Adrien menatap 2 cangkir kosong di hadapannya. Nice, tu anak bikin gue nraktir dia. Adrien menghela napas dan mengeluarkan 1 lembar uang Rp100.000 lalu memasukkan laptopnya dan pergi.

<><>

Adrien tersenyum puas. Ia dapat menyelesaikan novelnya tanpa memundurkan deadlinenya. Ia akan mengabari Bella dan menyetorkan naskahnya. Inilah pekerjaan Adrien. Seorang penulis. Terkadang wanita itu menjadi fotografer untuk pekerjaan sampingan jika ia benar-benar butuh uang di akhir bulan. Baru saja wanita itu akan mengambil ponselnya saat smartphone berwarna putih itu bergetar.

From : Asha

(10-08-2014 / 21.34)

Drien.. Lo ada waktu nggak besok? Temenin gue nyari dress buat grand opening party yang gue ceritain kemarin ya. Ya? Ya?

Adrien mengerutkan keningnya. Oh, pesta pembukaan hotel itu. Adrien mengingatnya. Jemari lentik wanita itu menari nari diatas layar ponselnya. Mengetikkan serentetan kata untuk membalas pesan Asha.

To : Asha

(10-08-2014 / 21.36)

Oke. Tapi lo kudu harus musti traktir gue Americano.

From : Asha

(10-08-2014 / 21.37)

Siap.. :D

Adrien mencharge ponsel dan pergi ke balkon apartemennya. Tak ada bintang. Polusi dan asap menutupi kerlap kerlip benda malam itu.

"Melek sayang," Adrien membuka matanya dan melihat lilin lilin mengambang di atas kolam, "aku tau kamu suka bintang. Tapi susah banget cari tempat yang bisa buat ngeliatin bintang di Jakarta. Jadi aku bikin ini. Oke aku tau ini jauh dari romantis. Tapi..."

Adrien menaruh telunjuknya di bibir Revan yang belum selesai berbicara, "aku suka kok. Makasih."

Revan tersenyum senang, "Happy Birthday, My Lovely," Revan merengkuh Adrien ke dalam pelukannya.

Mata wanita itu memanas. Potongan kenangannya bersama Revan tiba tiba saja terputar begitu saja. Pria itu pergi namun tetap meninggalkan salinan hatinya pada Adrien. Sementara yang asli ia berikan pada wanita lain, Claire McJohnson. Adrien tersenyum miris. Raven adalah salah satu motivasinya menjadi penulis. Berharap suatu saat nanti pria itu akan membaca salah satu novelnya dan menyadari bagaimana perasaan Adrien melalui alur cerita dalam novel itu. Bahwa cintanya untuk Revan akan selalu hidup selama belum ada orang lain yang sanggup memadamkan cinta itu dan menggantinya dengan kisah baru. Bahwa Adrien hancur menjadi sepihan serpihan kecil saat pria itu meninggalkannya. Bahwa wanita itu akan selalu memaafkan Revan tak perduli sebesar apa kesalahan pria itu.

Coffee and LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang