Busway

77 6 1
                                    

5 tahun lalu...

Semua hal besar bermula dari sesuatu yang sederhana, setidaknya bagi Adrien. Saat itu, awal karirnya sebagai editor di sebuah perusahaan percetakan.

Sejak dulu, Adrien sadar jika orang-orang nyaman berada di dekatnya, bahkan orang yang tidak dikenalnya sekalipun. Bukan sekali dua kali ada orang yang mengajaknya bicara, lalu dengan tiba-tiba menceritakan sedikit kehidupan mereka selama perjalanan dari satu halte ke halte lainnya. Entah tentang suami yang pemabuk, atau anak yang tak pernah ditemui karena perceraian. Dan adrien  mendengarkan keluhan mereka dengan sabar. Sesekali memberikan nasihat atau tanggapan yang menenangkan. Aku menghargai mereka. Karena, pada jaman seperti ini jarang sekali ada orang yang bahkan mau meluangkan waktunya untuk menyapa orang yang ditemuinya di busway.

Dan dari sekian banyak percakapan tak terduga itu, Adrien mengenal seorang pria. Usianya tak jauh berbeda. Pria itu berkeluh kesah tentang pekerjaannya yang menyiksa. Tentang ia harus bekerja di akhir pekan dan pulang larut karena lembur.

Saat Adrien turun dari kereta, ia tak pernah menduga jika perbincangan itu akan berlanjut. Esoknya, pada jam yang sama, ia bertemu lagi dengan pria itu. Dengan wajah yang lebih ceria dibanding sebelumnya. Pria itu mengatakan jika pagi ini, atasannya memberinya bonus untuk kerja lemburnya selama ini. Demi kesopanan, Adrien memberinya ucapan selamat. Meskipun, kalau boleh jujur, dia sedang tidak dalam suasana hati yang baik untuk menjadi pendengar.

Sepertinya pria itu tak memperhatikan ekspresinya yang sedikit jenuh. Lalu, dengan tiba-tiba, pria itu mengatakan akan mentraktir makan siang pada akhir pekan. Katanya, Adrien boleh memilih tempat dan jam tepatnya. Tanpa pikir panjang, wanita itu menyebutkan nama salah satu restoran yang memang menjadi kesukaannya.

"Jadi, jam berapa gue kudu sampai disana?"

"Gimana kalo jam satu siang? Keberatan?" tawar Adrien.

"Oke, sampe ketemu sabtu siang kalo gitu," pria itu berdiri lalu tersenyum sebelum keluar dari kereta.

Sepertinya dia turun di stasiun yang berbeda dari kemarin, pikir Adrien.

Hari H. Adrien nyaris saja melupakan janji makan siang itu. Ia mengambil uang dan ponsel lalu berlari keluar dari kantor. Banyak orang yang melihat ke arahnya, mungkin karena Adrien adalah wanita aneh yang mengenakan setelan kerja dengan sandal jepit dan berlari menuju halte tanpa membawa apapun. Ia terus berlari, memilih tidak peduli.

Keberuntungan berpihak padanya. Saat itu, busway baru saja akan berangkat. Dan Adrien berhasil mengejar. Dia sampai di restoran itu sepuluh menit lebih lama dari perjanjian, dengan napas terengah dan kaki pegal karena berlari dari stasiun. Ternyata pria itu sudah memesan meja.

"Kirain nggak jadi dateng," katanya dengan nada lega. Baru kali ini Adrien memperhatikan, pria ini memiliki senyum yang rupawan.

"Siapa yang mau ngelewatin makan gratis?" candanya.

Mereka membicarakan banyak hal. Kehidupan, pekerjaan. Dan yang perlu diingat dari percakapan selama dua jam itu hanyalah nama pria itu. Revano Henry Elardo dan ia bekerja di sebuah perusahaan sebagai akuntan.

Sejak itu, tercipta janji-janji makan siang lainnya. Hampir setiap hari selama tiga bulan penuh. Dan pada makan siang kesekian kalinya, Revan mengajak Adrien makan malam. Di sebuah restoran yang dipilihnya. Adrien melingkarinya pada kalendernya. Hari Sabtu, pukul delapan malam.

Adrien datang, dengan satu-satunya gaun yang  ia miliki. Gaun putih selutut tanpa corak yang ia kenakan saat wisuda sang kakak.

Revan, dengan tuxedo hitam dan senyumnya yang memikat menjemputnya di pintu masuk. Tak akan ada wanita yang bisa melupakan perlakuan romantis yang diberikan oleh seorang pria seperti yang Adrien dapat malam itu, kecuali jika wanita itu mengalami amnesia.

Adrien masih ingat apa yang dikatakannya malam itu, "gue sayang sama lo. Sejak sebelum gue coba-coba ajak lo ngobrol di busway pas itu."

"Jadi, waktu itu bukan kebetulan? Pas gue ketemu sama lo."

"Lo bisa bilang itu kebetulan yang terencana." –senyumnya mengembang manunjukkan deretan giginya– "pertama kali kita ketemu itu dua minggu yang lalu. Nggatau gimana, tau-tau hati gue udah ada di lo aja. Dan, well. Kenapa nggak coba pake aku-kamu mulai sekarang?"

...........................................................

Duuhhh, maap banget karena hampir 2 bulan ilang tanpa kabar >.<

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 16, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Coffee and LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang