A/N: Masih POV-nya Rae
Seketika keadaan di lingkungan sekolah ini berubah. Yang tadinya tenang dan kondusif, pokoknya suasana yang mendukung proses belajar dan mengajar. Sekarang berubah menjadi tegang, penuh waswas dan... tentu saja berisik. Dari 20 menit yang lalu, suara berisik yang dihasilkan oleh sirene mobil polisi dan ambulans tidak mau berhenti. Ya, guess what. Aku dan Sheryl tidak boleh keluar dari perpustakaan sampai polisi mengambil keputusan.
"Korban bernama David Hayes, umur 30 tahun. Menurut informasi, dia adalah guru PE khusus mengajar kelas 10 di Trenton Senior High." Kata seorang detektif yang memeriksa kasus ini.
Detektif itu merupakan salah satu dari bawahan dari Inspektur Alfred McAllister, sepupu jauh ayahku yang sempat tinggal di Inggris selama 8 tahun, tapi sering bolak-balik Inggris-Amerika. Aku bisa kenal dengannya karena ayahku dan Uncle Alfred sering mengajakku dan Becca camping di berbagai tempat yang berbeda.
By the way, Uncle Alfred juga menangani kasus ini. Jadi aku juga bisa ikutan memeriksa kasus ini. Fyi, aku juga sering ikut Uncle Alfred ke berbagai TKP dan ikut-ikutan memeriksa kasus itu, walaupun sering dilarang oleh detektif-detektif bawahannya yang sering berada disekitarnya, dan kadang-kadang Uncle Alfred melarangku juga.
"Hmm... David Hayes, ya. Kira-kira apa penyebab kematiannya, detektif?" Tanya Uncle Alfred kepada detektif itu. Aku tahu detektif bertubuh gemuk itu adalah detektif yang menyebalkan. Aku tidak peduli but.... Now's my chance.
"Penyebab kematian korban adalah kehabisan darah akibat urat nadi yang terputus. Tuh liat, ada banyak sayatan di lengan kirinya dan banyak bekas darah yang muncrat keluar dari sana."
Semua detektif bawahan Uncle Alfred, termasuk dirinya langsung menatapku dengan tatapan jengkel begitu mendengar interupsiku dan aku yang sudah berada di sebelah korban. "Heh, bocah! Jangan dekat-dekat situ!" Bentak si detektif bertubuh gemuk itu- Detektif Walker. "Kamu lagi, kamu lagi. Mau main detektif-detektifan lagi ya? Hm?!" Lanjut detektif satunya yang merupakan orang Afro-Amerika dan berpostur tinggi kurus-Detektif Johnson.
"Rae, kamu ngapain disini? Berbahaya tau!" Giliran Uncle Alfred yang memarahiku. "Aku cuma kebetulan ada disini kok, mau balikin buku. Eh, taunya ada yang meninggal. " Jawabku dengan nada sok polos.
"Beneran?"
"Kalo nggak percaya tanyain aja Sheryl. Betul ga Sher?!"
Sheryl yang dari tadi bengong langsung kaget begitu kusebut namanya. "Hah?! Eh... Iya, betul itu Pak Inspektur." Jawab Sheryl sambil mengangguk dengan cepat. Astaga, mukanya bener-bener cupu di momen ini. Mirip tokoh protagonis ber- stereotype nerd atau loser yang sering jadi sasaran bully para kelompok cheerleader di film-film.
Uncle Alfred menggeleng-gelengkan kepalanya lalu berkata, "Baiklah, saya percaya kalian. Tapi kali ini Uncle minta jangan ikut campur dalam kasus ini, Rae. Terlalu berbahaya.". Akh, sial. Padahal ini kan kasus langka karena terjadi di sekolahku.
Lagi pula memangnya kenapa kalau aku ikut campur? Padahal aku sudah sering ikut Uncle Alfred ke TKP yang lebih berbahaya, seperti- hutan di pinggir jalan tol, gedung tua yang konon banyak hanyunya, bahkan wahana roller coaster di Amusement Park. Bandingkan dengan TKP kali ini, hanya perpustakaan yang sunyi dan tidak terlihat berbahaya sama sekali.
"Inspektur McAllister, apa kita bisa memulai interogasinya sekarang?" Panggil Detektif Walker si-detektif-yang-songong-gendut-dan-jelek itu. Hey, mengapa malah si Detektif sialan itu yang memerintah Uncle Alfred? Mana nada bicaranya kasar banget lagi. Nggak sopan. "Baik, kita mulai sekarang, ayo Johnson. Sisanya, segera evakuasi mayat itu dan memulai penyelidikan." Perintah Uncle Alfred ke semua bawahannya sambil berjalan mengikuti Detektif Walker, dan diikuti Detektif Johnson pula.
Aku melirik kearah mayat guru PE itu dan mencoba menyelidikinya. Seperti yang kulihat tadi, ada banyak bekas sayatan di lengan kirinya. Di sebelah tangan kanannya tergeletak cutter yang bernida darah. Memang terlihat seperti bunuh diri sih, tetapi mana mungkin ada orang yang mau bunuh diri di tempat seperti ini? Kalau aku jadi guru ini sih, aku akan memilih tempat yang benar benar tak akan terlihat orang, seperti lemari Janitor atau toilet.
Aku mendekat kearahnya, tak peduli Sheryl yang mencoba mencegahku. Tentu saja untuk melihat lebih dekat dan memastikan, apakah ini memang bunuh diri atau bukan. Dan aku melihat suatu benda yang cukup menonjol darinya, yaitu sebuah amplop berwarna hitam yang kontras dengan warna celana trainingnya, kuning neon. Amplop itu berada di dalam saku celana training guru PE itu dan cukup bisa terlihat dari jauh. Aku mengambil amplop itu lalu menyimpannya di saku celana jeans-ku.
Tapi...
"Jangan sentuh mayat itu, dasar bocah!" Bentak seorang opsir yang bertugas memeriksa mayat itu. Kenapa aku selalu dibilang bocah? Padahal aku sudah berusia 15 tahun dan aku sudah kelas 1 SMA. Menyebalkan memang. Mana opsir itu teriak langsung di sebelah telingaku lagi. Bisa budek aku lama-lama.
"Kan, dibilangin juga apa." Tegur Sheryl sambil menepuk bahuku dengan keras. Tepukannya berhasil membuat bahuku sakit setengah mati. Entah cewek itu kelebihan tenaga atau memang orangnya sok akrab.
"Sakit tau!"
"Hahaha... Sori."
Kami berdua memutuskan untuk duduk di meja yang berada di sisi lain ruangan dan membaca beberapa buku yang ada diatas meja itu. Yah, lumayan lah. Daripada nggak ada kerjaan.
"Rae?"
"Apa?"
Raut wajah Sheryl berubah menjadi kebingungan saat dia melihat apa yang kupegang- amplop hitam tadi. "Itu apa?" Tanyanya sambil menunjuk amplop itu. Aku tidak membalasnya dan langsung membuka surat itu. Kami terkejut begitu melihat isinya-
Hai anak baru, bagaimana kesan pertama menginjakkan kaki di sekolah ini? Pasti lo bingung kan lantaran baru hari pertama udah ada kasus pembunuhan? Jangan khawatir, guru PE tolol ini cuma collateral damage kok. Lo cuma harus siap siap aja, sebab gue kan mengadakan permainan yang lebih besar lagi.
-Chocky
Holy shit. Jadi benar tadi bukan bunuh diri. Aku harus segera memberitahu Uncle Alfred, tapi aku takut dimarahi karena ketahuan mengutak-atik TKP. Nanti saja deh.
Tunggu... Anak baru? Jadi targetnya... Aku?! Dan... Hell, siapa Chocky itu?
.
.
.
Tak terasa sudah 3 jam lebih aku berada di dalam perpustakaan ini. Dan sekaang sudah jam 10:40. Kuyakin sebentar lagi waktunya bel untuk istirahat. Dan kami tidak diperbolehkan meninggalkan perpustakaan sampai polisi-polisi itu menyimpulkan sesuatu.
Masalahnya tidak terletak di perutku yang sudah keroncongan dan minta diisi ini. Melainkan statusku yang madih merupakan anak baru disini. Aku sudah ketinggalan beberapa (atau mungkin banyak) materi di kelas sejarah dan menurut jadwalku, harusnya setelah ini aku mengikuti kelas bahasa Spanyol setelah kelas sejarah selesai. Tapi karena ada kasus sialan ini, aku terpaksa tetap tinggal di tempat membosankan ini bersama Sheryl. Berdua saja.
Dan setelah penantian yang panjang (kek lagunya Nikita Willy aja, wkk), akhirnya Uncle Alfred dan bawahan-bawahannya yang menyebalkan itu mendatangi kami. "Bagaimana hasilnya Uncle? Apa kita masih harus tetap disini?" Tanyaku kepada Uncle Alfred dengan nada menyindir. "Tidak kok, kalian sekarang boleh kembali ke sekolah dan menjalani kegiatan masing-masing." Jawabnya dengan santai. Lalu kami mengikutinya menuruni tangga dan keluar dari gedung perpustakaan.
Hei, tunggu... Aku melupakan sesuatu. HAMPIR lupa.
"Wait, Uncle!" Panggilku. Uncle Alfred menghentikan langkahnya dan menoleh kepadaku. "Bagaimana hasilnya?" Tanyaku basa-basi.
"Dia bunuh diri."
Sudah kuduga. Eh tunggu... Hey, itu bukan jawaban yang kuinginkan.
"Bunuh diri?! Uncle bercanda ya?" Tanyaku lagi, tak terima dengan kesimpulannya. Uncle Alfred hanya mengangkat bahunya dan berkata, "Itulah kenyataannya, Rae...."
"Tapi..."
"Case closed. Sekarang Uncle harus pergi, ada kasus lain." Dia segera masuk ke mobilnya dan melesat pergi. Great. Ternyata seorang paman bisa buru-buru mengambil kesimpulan demi kasus yang lain. Super sekali. Padahal pembunuhan itu entah kenapa ada sangkut pautnya denganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadows
Mystery / ThrillerKehidupanku berubah drastis ketika aku pindah ke New York. Tepatnya menjadi sebuah mimpi buruk. Pertama, aku harus bertemu dengan cowok brengsek yang gayanya selangit, Dylan Ravenskye. Mentang-mentang dia anak kepala sekolah jadi dia bisa mengerjai...