Chapter 5 part 2

55 5 3
                                    

Baru saja kami semua selesai makan siang. Tiba-tiba ada seorang cowok menghampiri meja kami. "Hey, love." Sapa cowok itu kepada Clary. Bisa kutebak kalau cowok berambut belah tengah ini pacarnya Clary. "Hello, babe." Balas Clary sambil berdiri mendekati cowok itu. Lalu dia mencium pipi Clary dan wajah Clary berubah menjadi merah.

"Clary, is that your boyfriend?" Tanyaku dengan bodohnya pada Clary. Padahal jelas-jelas dia adalah pacar Clary, aku tahu dari sikapnya. "Oh, iya hampir lupa. Rae, this is my boyfriend, Ray Collins. Ray, kenalin ini Rae Edwards."

"Hai."

Dan baru saat aku menyapanya...

"KYAAAA!!!!"

Suara jeritan. Astaga, apakah ada yang mati lagi hari ini?

Tapi ternyata bukan. Dan aku lihat ada seseorang yang familiar lewat di tengah kantin. Tebak siapa? Dylan Ravenskye. Dia berjalan dengan sombong dengan jaket letterman-nya dan segerombolan konco-konconya mengikutinya dari belakang (yang hampir semua juga berjaket letterman, pasti anak-anak tim olahraga). Ada juga seorang cewek yang mirip Taylor Swift yang habis make narkoba sedang dirangkulnya dengan mesra. Jijik.

Oh, ya. Memang sih, anak kepala sekolah mah beda.

"Pamer-pamer relationship lagi ya, najis."

Aku menoleh ke sumber suara beraksen Rusia tersebut. Entah kenapa ada cowok misterius tiba-tiba duduk di sebelahku. "Hah? Jadi mereka beneran pacaran?" Tanyaku kepada cowok berpenampilan kuno itu. Cowok itu mengangguk, menyebabkan rambutnya yang di-pomade ke samping (tapi malah mirip polem :v) ikut bergoyang-goyang mengikuti gerakan kepalanya.

"Iya, dan tololnya lagi si Dylan Ravenskye itu memilih cewek ter- idiot di sekolah, Talisha Swan. Otaknya dimana coba, masa cewe bermental ADHD dipacarin juga." Sindirnya dengan pedas. Ooh, jadi nama cewek idiot itu Talisha Swan. Tunggu... Bagaimana aku bisa langsung menarik kesimpulan kalau cewek itu idiot? Tapi tampangnya memang tampang idiot sih.

"Gimana lo bisa tau kalo cewek itu ADHD?"

Cowok itu tidak menjawab dan terus-terusan menggumam 'errr....'. Lalu kulihat cowok itu hendak membuka suara. "Yah, gue juga sering ketemu dia di klinik psikologi, berhubung kita satu psikiater... Eh?!" Jawabnya dengan pelan sambil tertunduk, lalu dia terkaget dan menutup mulutnya. Wow, jangan-jangan yang tadi itu aibnya. Jangan-jangan dia juga ada gangguan jiwa.

"Bangsat!" Dan tiba-tiba cowok itu bersumpah-serapah nggak jelas dan pergi meninggalkan meja kami. "Cowok aneh itu siapa sih?" Tanyaku kepada Franco yang sedang diam saja dari tadi, sedangkan yang lain sibuk mengobrol dengan partnernya masing-masing (well, kecuali Ava, Melody, Sheryl dan Karen. Mereka mungkin sedang mengobrol seru berempat).

"Oh, dia Yuri Shevchenko, anak kelas 11 yang keturunan Rusia. Memang anaknya rada belagu dan suka nge-judge orang lain. Gak usah dipikirin." Jawab Franco dengan nada yang cool... Lagi. Apakah dia selalu berbicara seperti ini?

"Franco?"

"Hm?"

"Emangnya lo selalu begini ya kalo bicara sama orang lain? Eh... Maksud gue, nadanya selalu kayak gitu... You know lah." Tanyaku dengan basa-basi dan bahasa yang nggak jelas dan belepotan. Ya, masalahnya... Siapa yang tidak canggung jika berbicara dengan cowok secara empat mata alias hanya berdua? "Oh? G-gue terlalu jutek ya? Maaf deh...в" Jawabnya dengan malu-malu sambil meminta maaf. "Nggak masalah sih, tapi... Keren kok." Aku berusaha memujinya dan membuatnya tidak merasa bersalah. Dia hanya mengangguk kecil.

"Wow, pasangan baru nih." Aku bisa mendengar Ava menyindirku dari kursi seberang. "Ekhem... Ekhemm..." Ini lagi si Karen, pake acara manas-manasin orang dengan cara pura-pura berdehem lagi. Dan sisanya melirik kearah kami dengan tampang 'I-see-what-you-did-there'. Kecuali Nic, dia justru berubah menjadi tidak senang dan wajahnya terlihat gusar. "Oh, c'mon guys. We're just friends." Tegasku pada mereka.

"Yakin tuh?" Goda Melody sambil menyenggol bahuku. Idih, orang beneran kok kita cuma temenan. Lagian aku baru kenal Franco, masa langsung pacaran? "Shut up!" Labrakku sambil menunjukkan isyarat untuk diam.

Melody POV

Kami sedang ketawa-ketiwi melihat tingkah laku Rae setelah dia mengobrol sebentar dengan Franco. Lihat saja, seketika wajahnya jadi semerah tomat begitu. "Gue baru tau Franco bisa suka sama orang." Sindir Sheryl yang duduk di seberangku. "Ngawur aja! Udah deh, gue ke toilet dulu!" Lalu Franco ngacir keluar cafetaria. Pfffttt.... Dasar cowok pemalu.

Dan tiba-tiba saja karma datang kepadaku. Seorang cowok yang SOK kegantengan— Cameron Davis alias Reo— menghampiri mejaku. Tentu saja, dia ingin menyapa sohibnya, Ray Collins yang merupakan pacarnya Clary.

"Yo, Ray!"

"Reo! Glad you're here, dude!"

Mereka saling ber-fistbump ria dan ngobrol seru bareng, seperti sahabat-sahabat pada umumnya. Dan aku merasa agak risih karena sesekali Reo melirik kearahku dengan tatapan seperti tatapan yang penuh harap. I'll tell you what, Reo. It's too late and you had your chance. Sudah terlambat Reo, aku bahkan sudah memutuskan untuk tidak menyukaimu lagi.

"Gue mau cuci tangan dulu, nggak lama kok." Izinku kepada Rae, dan aku langsung pergi ke wastafel yang terletak di lorong kecil di ujung cafetaria.

Aku membuka keran wastafel itu dan berpura-pura mencuci tanganku. Tentu saja agar mereka tidak curiga kalau aku ke wastafel hanya untuk menghindari orang itu. Ah, orang sial itu kenapa harus muncul sih? Kenapa aku tak bisa melupakan dia sedikiiit saja? Kenapa harus setiap saat ada bayang-bayangnya di otakku?

Get out, get out, get out of my head...

Sialan...

And fall into my arms instead...

Ternyata...

I don't, I don't, don't know what it is...

Aku...

But I need that one thing...

Belum bisa melupakannya.

And you've got that one thing...

Tanpa kusadari air mataku menetes lagi, dan jatuh terlarut ke dalam air yang menggenang di bak wastafel akibat kerannya terus menerus mengalirkan air. Wait... Bukan kerannya, tapi penyumbatnya. Baknya terpasang penyumbat. Akh, seberapa bodohnya aku ini sampai penyumbatnya masih terpadang. Aku mematikan keran itu dan melihat refleksi wajahku di genangan air (lebih seperti lautan) sejenak, lalu mendongak dan melihat kaca.

Kejadiannya begitu cepat. Aku melihat ada seseorang dengan jubah hitam dan topeng dari film Scream berdiri di sebelahku, tentunya lewat kaca. Dan begitu aku ingin berteriak, orang itu mendorong wajahku kedalam bak wastafel yang penuh air itu. Sekarang seluruh wajahku terbenam di dalam air dan aku tidak bisa bernapas.

Tolong, siapapun tolong aku! Siapa saja!

Reo, save me!

ShadowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang