Dylan POV
"Kepalanya memang terbentur cukup keras, tapi tidak ada tanda-tanda luka parah atau pendarahan dalam. Tidak apa-apa, dia mungkin akan sadar sebentar lagi." Jelas guru kesehatan, Mrs. Ross setelah memeriksa keadaan Rae yang terluka saat kejadian di gudang tadi. Aku dan Melody kemudian berterimakasih kepada Mrs. Ross. Dia menyuruh kami menjaganya sebentar, karena Mrs. Ross ada keperluan di bank.
Kalau saja Melody tidak memukul kepala si hantu Scream itu dengan guci sampai pingsan, pasti Rae sudah tewas tadi. Tapi saking paniknya kami tadi, kami belum sempat membongkar identitas pelaku pembunuhan itu. Dan saking paniknya lagi, kami sampai lupa menelepon polisi. Aku saja baru menelepon polisi beberapa menit yang lalu.
Yah, ini tidak seberapa dengan Talisha yang tewas disetrum orang misterius bertopeng Scream itu. Berhubung tadi kami berdua basah kuyup kesiram air di lantai 4 tadi, sengatan taser sekecil itu saja bisa membunuhnya.
Tapi... Aku ini memang aneh. Harusnya aku sedih dan kehilangan kalau Talisha meninggal. Tapi kenapa aku tidak merasakan perasaan itu? Atau setidaknya ada shock sedikit begitu?
Pertama kalinya aku merasakan kesedihan itu waktu ibuku meninggal. Saat itu aku baru berusia 12 tahun. Ibuku tewas dalam kecelakaan pesawat saat dia baru akan terbang ke Dublin untuk menghadiri upacara pemakaman nenekku disana.
Mungkin aku memang lebih mengkhawatirkan Rae. Ya, aku tidak sanggup jika kehilangan dia dua kali, karena aku pernah kehilangannya sekali, saat aku masih kecil. Waktu itu dia meninggalkan aku dan Nic berdua saja. Bagaimanpun juga dia adalah sahabatku, sahabat terbaikku.
Tadi di gudang, aku menemukan surat beramplop hitam yang tergeletak di lantai dan langsung menyimpannya di kantong celanaku. Penasaran, aku membuka amplop itu. Melody yang juga ikut penasaran mendekatkan wajahnya ke surat itu. Beginilah isinya—
Idih, lo gak jijik apa temenan sama anak autis yang diimpor dari Rusia? Kalo gue sih, iya. Senyumnya itu loh, sok imut! Memuakkan! Gue kasih aja tuh anak senyuman baru yang lebih indah... Dilehernya.
-Chocky
Apa-apaan ini? Surat teror?! Jadi yang membunuh Yuri dan Talisha, dan juga melukai Rae itu namanya Chocky? Wah, kalo gue ketemu anaknya gue bakalan hajar dia habis habisan sampe tenaga gue abis. Lagian memangnya dia nggak pernah ngaca ya? Ngatain orang sok imut tapi namanya Chocky. Apa nggak sok imut tuh orang?!
"Ini semua salah gue, kalo aja tadi Rae kabur duluan dan ninggalin gue. Pasti kejadiannya nggak akan seperti ini." Kata Melody yang tengah frustasi sambil menjambak rambutnya sendiri.
"Tapi berkat lo juga kan Rae masih hidup sampe sekarang. Coba kalo lo nggak ngehajar si Chocky tadi, bisa mati beneran dia." Hiburku, "Udah lah, jangan nyalahin diri sendiri. Ini bukan sepenuhnya salah lo kok." Melody mengangguk tanda menyetujui ucapanku.
Drrrttt.... Drrrrrttt....
"Sebentar ya, Dyl." Melody merogoh saku celananya dan mengangkat handphone-nya. Dia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke sudut ruangan. Aku bisa mendengar kalau dia sedang memberitahu lokasinya, bersama siapa dia dan hendak memberitahu kejadian yang baru saja kami alami, tapi tidak jadi, lalu dia menutup telepon orang itu.
"Siapa Mel?" Tanyaku. "Ava Parker, temen gue. Dia nungguin gue di lantai dua. Gue harus pergi sekarang, nanti gue balik lagi kok." Jawab Melody sambil membuka pintu klinik dan hendak keluar. Kenapa harus aku sih, yang nungguin dia? Sendirian lagi. "Yaudah, cepetan ya." Lalu Melody pergi.
Aku mengalihkan pandanganku ke Rae yang masih belum sadarkan diri. Aku jadi teringat kejadian 7 tahun yang lalu, saat melihatnya tertabrak truk terkutuk itu dengan mata kepalaku sendiri. Kukira dia sudah tidak ada lagi di dunia ini. Tapi siapa sangka, aku dapat bertemu dengannya lagi di sekolah yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadows
Mystery / ThrillerKehidupanku berubah drastis ketika aku pindah ke New York. Tepatnya menjadi sebuah mimpi buruk. Pertama, aku harus bertemu dengan cowok brengsek yang gayanya selangit, Dylan Ravenskye. Mentang-mentang dia anak kepala sekolah jadi dia bisa mengerjai...