8. Berdamai Dengan Masa Lalu

79.7K 7.8K 124
                                    

REPOST

Kinan memainkan ujung baju Al yang masih tertidur di pangkuannya. Dia gugup, dan setengah menyesal telah menyetujui permintaan Nakula untuk ikut ke rumahnya. Apa yang dia pikirkan hingga menyetujui hal ini?

"Tenang saja, hanya ada kami berempat di rumah." Nakula mencoba menenangkan Kinan dengan menggenggam tangannya sekilas.

"Beneran? Aku pikir ada pesta di rumah kamu," kata Kinan.

Dan aku tidak siap dipandangi saudara-saudara kamu yang lain.

Nakula menggeleng. "Nggak pernah ada pesta lagi semenjak Kak Yudis pergi," jawabnya muram.

Kinan menunduk. Hatinya masih teriris saat mendengar nama Yudis. Perasaan bersalah itu kembali menghantuinya, menghujam tepat ke dalam jantungnya.

Jika tidak karena pergi menjemputnya, Yudis pasti masih hidup. Mereka pasti sudah menikah, dan mungkin sudah memiliki seorang anak yang lucu seperti Al. "K, maafin aku. Aku turun di sini saja," lirihnya.

Nakula menoleh dengan heran. "Kenapa?"

"Aku ... aku belum siap, K."

"Nggak. Kamu harus ke rumah." Nakula tetap keras kepala.

"K, please ... aku belum siap. Rumah kamu penuh bayangan Mas Yudis. Aku nggak bisa," mohon Kinan.

Nakula mengembuskan napasnya. "Kee, kamu harus menghadapi ini. Kamu nggak bisa terus bersembunyi di balik cangkangmu dengan terus merasa bersalah, menutup diri kamu dari kami. Bahkan ini sudah dua tahun ... dua tahun."

Kinan terisak pelan. Dua tahun dan dia masih mencintai Yudis, sekaligus merasa bersalah. Rasa bersalah yang begitu dalam.

"Bunbun." Al terbangun, dan langsung menatap mata Kinan yang basah. "Bunbun angis?" tanyanya sambil menyentuh pipi Kinan.

Kinan menggeleng dan mengusap pipinya. "Al mau susu?" tanyanya mengalihkan perhatian anak itu. Al mengangguk antusias. Kinan segera meraih tas di dashboard dan mengambil botol susunya.

"Bunda akan menyukai anak kamu. Percayalah." Nakula mengusap lembut kepala Kinan.

"Emm ... sebenarnya ... dia—"

Tiba-tiba dering ponsel Nakula terdengar. "Ya, Kak?"

"...."

"Apa??" pekik Nakula terkejut. "Kak, aku sebentar lagi sampai. Sepuluh menit. Oke?" sambungnya.

"...."

"Oh ayolah. Ada seseorang yang harus kamu temui. Please," mohon Nakula.

"...."

"Kak, jangan. Tu—"

Panggilan terputus dan Nakula langsung membanting ponselnya dengan kesal, hingga Al menatapnya takut.

"Bunbun." Bibir Al seketika mencebik.

"Hei, Sayang, jangan takut. Uncle nggak marah sama kamu." Kinan menepuk-nepuk punggung Al pelan.

"Uncle nggak marah, Baby Boy. Jangan takut. Oke?" Nakula menyeringai, tapi justru membuat Al mengeluarkan tangisannya. Mau tidak mau membuatnya panik sendiri.

"Nggak apa-apa, K. Fokus saja menyetir." Kinan tersenyum, mencoba menenangkan. Ia menggoyang-goyangkan badan Al, agar berhenti berhenti menangis. Al memang tidak mudah dekat dengan orang baru. Karena itulah Kinan heran, saat dia tidak takut pada Juna—dokter tampan itu.

Kinan seketika teringat tatapan tajam dokter tampan tersebut. Senyum tulusnya saat menyuapi Al makan. Betapa luwesnya dia berhadapan dengan anak-anak. Dan mata indahnya yang mengingatkannya pada sesuatu ... atau ... seseorang?

LOVE and MACARONS (Tersedia Cetak Dan E-Book)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang