Setibanya di rumah aku langsung berlari masuk ke dalam kamar dan mengganti seragam sekolahku dengan pakaian santai.
Karena rasa lapar yang sudah menggelayuti perutku sejak beberapa jam yang lalu maka aku melangkahkan kaki menuju dapur untuk melihat menu makan siang hari ini.
Dan kali ini aku kembali mendesah kecewa, melihat meja makan yang kosong melompong tanpa ada lauk-pauk satupun."Payah." Gumamku.
Aku memutar tubuhku, beranjak ke halaman depan rumah. Jari-jari tanganku sibuk mengumpulkan rambutku menjadi satu untuk di ikat asal.
Selanjutnya tapak kakiku naik ke atas kursi yang menempel di dinding pemisah antara rumahku dengan rumah Janira Alvinoka. Tetanggaku yang cantik bagaikan peri, dan baik hati bagaikan bangsawan.
"Kak Jani!" Panggilku dengan suara keras sambil menyandarkan siku tanganku di bagian atas dinding.
Namun tiba-tiba saja muncul laki-laki ehm, tampan, dari balik pintu rumah Janira.
Mataku pun sigap meneliti penampilan cogan yang mendadak menampakkan dirinya di hadapanku.
Putih, tinggi, dan tampan. Benar-benar sempurna.Sebelum aku semakin terhanyut oleh pesonanya, aku segera berdeham singkat agar cogan itu tidak lagi menatapku curiga.
"Kak Jani ada di rumah?" Tanyaku seraya tersenyum manis.
Tanpa menjawab apapun cogan itu kembali masuk ke dalam rumah. Aku terperangah karena merasa tidak diacuhkan. Sambil menunggu apa yang akan terjadi, beberapa detik kemudian Janira pun muncul di ambang pintu.
"Kenapa lo, Na?"
Aku meringis sambil menggaruk kepalaku yang tak gatal.
"Laper, Kak. Lo masak kan?"
Janira mendengus, lalu mengangguk padaku.
"Sini aja, sekalian ada yang mau gue kenalin. Kebiasaan banget deh lo, nongol dari balik tembok."
Aku menyengir polos. Setelah mengacungkan ibu jariku, aku langsung melompat turun dan berlari memutar untuk masuk ke rumah Janira.
Sesampainya di depan pintu rumah Janira, langkahku terhenti karena cogan itu sedang melihat jengah ke arahku. Tanpa rasa bersalah, sedikit malu-malu aku tersenyum tipis padanya lalu menghampiri Janira yang duduk tepat di sampingnya.
"Kenalin nih, Na. Dia adik gue, mulai sekarang tinggal disini juga." Ujar Janira memulai percakapan.
Aku mengangguk pelan, sembari mengulurkan tanganku pada adik Janira.
"Hai. Gue Kayana Latavia."
Adik Janira menyambut tanganku, ia juga membalas senyumku yang tadi diabaikannya.
"Hai juga. Gue Ghefari Pramudanu." Timpalnya padaku.
"Yaudah, sekarang kalian makan bareng gih." Janira menepuk bahuku sambil melirik Ghefari.
Kalau saja perutku tidak kelaparan pasti akan kutolak tawaran Janira barusan.
Aku hendak mengikuti Ghefari yang sudah lebih dulu beranjak ke ruang makan. Sungguh, atmosfir yang menguar terasa sangat canggung.
Dengan gerakan kaku tanganku menarik kursi dan duduk tidak jauh darinya lalu mulai mengambil nasi serta lauk pauk yang ada di atas meja.Kami berdua makan dengan tenang, saling berdiam diri. Sampai akhirnya aku tidak tahan untuk bertanya sesuatu padanya.
"Lo murid SMA, kan?" Tanyaku mencoba berbasa-basi.
"Menurut lo?" Sahutnya balik bertanya padaku.
"Pasti iya. Lagian kak Jani kan baru kuliah semester dua."
Ghefari terkekeh pelan, "Iya, lo bener. Lo sendiri juga.. sama?"
"Tau darimana?"
"Secara lo kan manggil kakak gue pake embel-embel kak."
"Gitu deh." Balasku cuek.
"Kelas berapa lo?"
"12, kalo elo.. sama?"
Ghefari menaikkan satu alisnya, kemudian dia tersenyum miring padaku.
Entah apa maksudnya, tapi obrolan kami terhenti begitu saja. Rasa lapar mengalihkanku untuk kembali melanjutkan menyantap makan siang yang sudah disiapkan oleh Janira. Dan Ghefari pun melakukan hal yang sama.• • •
Gue datang membawa kisah cinta baru yang sangat ringan :)
Ada yang pernah jatuh cinta dengan tetangga sebelah rumah?Voments!
KAMU SEDANG MEMBACA
Fallen for My Neighbour
Teen Fiction[UN-MOOD] Siapa sih yang gak seneng punya tetangga cogan? Alias cowok ganteng. Sayangnya dia lebih muda dua tahun dari gue. Malu dong kalo ketauan naksir brondong. Tapi kalo cuma buat penyedap mata ya gapapa lah. -- Kayana Latavia Gue punya tetangga...