00:03

424 57 3
                                    

MALAM ini, aku sama sekali tidak bisa tidur.

Aku gelisah. Mataku tetap terpejam, sambil terus mencari posisi tidur yang nyaman. Tetapi tetap tidak nyenyak juga. Ah!

Kamu ingat, tidak? Biasanya, setiap jam setengah sepuluh malam, sebelum aku tidur, kamu selalu mengirimkan pesan singkat menenangkan untukku.

Dan sudah dua bulan ini, kamu tidak lagi melakukan itu.

Aku sedih, Bi.

Pikiranku melayang ke percakapan kita nyaris empat bulan yang lalu. Saat kamu dan aku berolahraga di kompleks perumahanku. Lelah berlari mengitari komplek, aku meminta agar kita duduk sebentar di taman kompleks. Kamu menyetujuinya.

Tiba-tiba saja, kamu menunjuk sepasang sepatu berwarna hijau tosca yang aku pakai. "Lo liat sepatu lo deh, Ngi."

"Kenapa harus sepatu gue? Lo 'kan juga pake sepatu, Bi." Aku mengernyit heran ke arahmu.

Kamu berdecak. "Bodo, yang penting sepatu," ucapmu. "Lo tau nggak, persahabatan kita tuh kayak sepatu, tau."

"Maksud lo?" tanyaku bingung.

Kamu tersenyum. "Gue dan lo itu kayak sepatu. Selalu bersama. Kalo ada lo, ada gue. Gue dan lo selalu berjalan bersisian. Kalo di antara kita rusak, pasti kita ngerasa gak utuh. Kayak gue dan lo. Kalo lo sedih, sakit, gue pasti ngerasa gak utuh. Lo juga gitu 'kan, kalo gue gak ada di sisi lo?"

"Hih, pede." Aku memutar kedua bola mataku. Tetapi dalam hati, aku mengiyakan filosofimu tadi.

Kamu mengacak-acak rambutku. Salah satu tingkah menyebalkanmu yang kusukai. "Bodo! Tapi bener 'kan?"

"Iyain ajalah."

Aku tersenyum mengingat itu.

Tapi, satu yang kamu tidak tahu sampai saat ini, Bi.

Sepatu memang selalu bersama, tapi takkan pernah bisa bersatu.

Fall and BreakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang