Chapter 2

2K 61 1
                                    

Pic : Richi

Aku berjalan menyeret kakiku menuju pangkalan taksi terdekat, mataku masih sembab dan bengkak. Tapi aku tak peduli dengan tanggapan orang yang melihatku dan merasa jijik padaku. Toh bukan mereka yang melahirkanku.

Kupilih taksi yang berada di urutan nomor dua, dan tak lama kemudian melesat ke jalan raya.
"Kemana tujuanmu nona?" Tanya sang supir.
"Ke perumahan Villred nomer 14 ya pak"jawabku. Supir taksi itu menoleh ke belakang dan menghentikan mobilnya. Sontak aku kaget, dan bingung.
"Oh Delhi, lama tak bertemu. Masih ingatkah kamu padaku?" Tanyanya.
"Uhm, Paman Sam?" Tanyaku ragu.
"Haha ternyata kamu masih ingat padaku"
"Oh ya paman, bisakah kau antar aku pulang sekarang?"
"Oh tentu tentu, maaf aku lupa"

Kami segera melaju menuju rumahku, kami lewati jalan dengan sedikit berbincang. Aku merasa tidak enak dengan paman Sam karena aku menjawabnya dengan cuek. Yah, karena aku masih kalut dengan kesedihan.

Tak lama kemudian kami sampai di depan rumahku.
"Ini kita sudah sampai, eh bisa paman titipkan pesan padamu?" Kata Paman Sam.
"iya paman, tentu"
"Jangan biarkan semua kegelapan merasuk kedalam kebahagiaan, perjuangkan setitik cahaya harapan dalam hidupmu"
"Maksut paman? Oh ini uangnya" kataku sambil menyodorkan uang pada paman.
"Sudahlah, kelak kamu akan mengerti. Anggap saja ini hadiah ulang tahun untukmu dari paman. Maaf paman tak mampu memberi apapun untukmu"
"Terima kasih paman, iya tidak apa. Ini sudah lebih dari cukup" jawabku. Kemudian aku turun dari taksi paman.

Taksi paman mulai melaju, dan tak lupa aku melambaikan tanganku hingga taksi paman tidak terlihat lagi. Aku berjalan perlahan menuju rumahku.

Krek..
Pintu depan sudah terbuka, aku berjalan memasukinya.
"Selamat siang sayang, pulang naik apa?" Tanya ibu.
"Tadi naik taksi bu" jawabku.
"Kenapa matamu sembab?"
"Tadi aku sulit mengerjakan ulangan, jadi aku menangis" jawabku bohong.
"Oh, jadi begitu. Lain kali belajar ya kalau mau ulangan, jangan menangis. Ibu nggak mau liat Delhi sedih, oh iya tadi kenapa tidak sama ayah?" Tanya ibu.
"Kata ayah, ayah ada rapat. Jadi aku pulang sendiri. Oh ya tadi aku pulang sama Paman Sam" kataku antusias. Tapi entah kenapa raut wajah ibu jadi berubah.
"Kau sepertinya lelah nak" kata ibu.
"Tidak bu, aku baik sekali. Aku tidak lelah, kenapa ibu tidak senang aku pulang dengan paman Sam?" Tanyaku.
"Delhi, paman Sam sudah meninggal 1 tahun lalu" jawab mama sedih.
"Ia meninggal saat sedang naik taksi" terusnya. Aku tertegun mendengarnya, aku bingung. Lalu tadi siapa? Bukankah dia paman Sam?
"Tapi aku tidak berbohong bu, itu benar paman Sam" jawabku. Ibu terlihat sangat ketakutan dengan penjelasanku.
"Ibu? Ibu kenapa?" Tanyaku takut.
"Sudahlah Delhi, mungkin Paman Sam merindukanmu. Oh ya ibu sudah memasakkan tumis jamur untukmu"
"Iya bu, aku mau ganti baju dulu ya" kataku sambil berlalu menuju ke kamarku.

Kukenakan kaos panjang dan celana selutut. Kuikat rambutku ke belakang.
"Wah bau masakan ibu enak sekali" pujiku.
"Tentu, ini kan masakan untuk putri kesayangan ibu" jawabnya.

Aku mulai makan masakan ibu dengan lahapnya.
" Delhi sayang, udah kenyang?" Tanya ibu.
"Sudah bu, masakannya enak sekali"
"Bu, Delhi mau ke atas ya, mau lihat pemandangan dari balkon" terusku.
Ibu hanya mengangguk, dan aku mulai berjalan menuju balkon rumahku. Ku lihat rumah yang hampir sama, ya karena ini adalah perumahan.

Kulihat disana ada seorang gadis sepertinya seumuran denganku sedang berjalan. Tapi ada yang aneh, mukanya sangat pucat. Dan dia menoleh, kulihat matanya, kosong. Aku ketakutan dan berlari menuju ruang makan.
"IBUUU DELHI TAKUT BUU, IBUU" Teriakku sambil berlari.
"Hah? Ada apa nak? Kenapa kamu ketakutan?" Kata ibu sambil memelukku.
"Itu, gadis yang pucat sepucat kertas, matanya sehitam langit malam" kataku sambil terisak.
" Sudah, disini ada ibu, kita duduk di sofa ya, kita lihat tv" ibu berusaha menenangkanku. Aku hanya mengangguk dan mengikuti ibu menuju sofa.
"Sini nak" kata ibu sembari menyuruhku untuk tidur di pahanya. Tak lama setelah itu, mataku berat dan semua jadi gelap.

***

Aku terbangun dari tidurku. Aku sadar masih berada di sofa depan televisi. Aku berjalan menuju dapur mancari ibu, tapi tidak ada, aku menuju kamar dan beliau masih tak ada. Akhirnya aku menuju kamar ibu. Kulihat beliau sedang tertidur pulas, tapi aku masih terbayang dengan kejadian tadi.
"Bu bangun, Delhi takut" kataku sambil mengelus pipi ibu. Ibu terlihat mengedipkan mata dan menguceknya.
"Eh Delhi, kapan pulang? Kok Ibu nggak tau" katanya
"Loh bu, tadi kan Delhi sudah makan sama ibu, Delhi juga bobok di sofa sama ibu" jawabku bingung.
"Loh nak, ibu dari tadi bobok di sini, nunggu kamu sama ayah di sini"
Aku frustasi dengan jawaban ibu, aku bingung mau berkata apa lagi. Takut, takut, dan takut dengan hal yang menimpaku hari ini. Aku tak kuasa lagi, aku menceritakan semuanya pada ibu. Mulai dari Richi hingga sosok seperti ibu tadi.

Tak lama kemudian, ayah pulang. Beliau terkejut melihat wajahku yang pucat pasi.
"Kamu kenapa sayang?" Tanya ayah.
"Duduk sini yah, Delhi ceritakan" kataku. Dan aku mulai menceritakan semua pada ayah. Ayah merasa bersalah dengan hal yang menimpaku.

"Sudahlah Delhi, Delhi yang kuat ya, ayah yakin ini sebenarnya anugerah dari tuhan. Delhi yang sabar ya" kata ayah.
"Iya yah, Delhi yakin kalau delhi pasti kuat" jawabku.

Namun tetap saja rasa takut masih menghantuiku, sehingga membuatku tak berani untuk tidur sendiri. Dan meminta ibu untuk menemaniku malam ini. Tapi aku ingat bahwa aku bukan anak indigo, aku juga tidak pernah melihat film hingga terngiang di otakku. Tapi apa yang terjadi padaku sekarang? Aku takut, takut sekali.

Disaat seperti ini aku hanya bisa mematung, membisu dan mengingat nasibku yang buruk. Seandainya aku bisa menjerit, pasti aku akan menjerit sekeras mungkin hingga beban yang menggantung di pundakku lepas.

Aku hanya ingin menjadi gadis biasa, yang ceria. Bisa bahagia dengan berbagai kisah cintanya. Tapi ayah memberi pengertian padaku bahwa ini adalah sebuah proses, proses yang akan membimbingku ke dalam kedewasaan. Mungkin ini memang sulit dilalui, tapi ini adalah rencana tuhan untukku. Aku harus tegar melaluinya, dan tak sekalipun menyerah pada takdir yang ada. Aku tidak boleh jadi daun kering tertiup angin. Aku harus jadi pohon yang kokoh berdiri ditengah amukan badai. Aku harus kuat menghadapi semua. Aku ingat disini ada ibu, ayah, dan sahabat sahabatku yang akan selalu mendukungku saat aku sedang kesulitan.

BLACK DIAMONDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang