Chapter 8 (kematian yang berdatangan)

912 43 0
                                    

Aku masih duduk di bangku itu, aku melihat seklebat bayangan hitam di sela pepohonan. Namun aku tak peduli dengan itu semua, aku masih merasa hampa, sedih, dan kecewa. Sangat kecewa. Hatiku sangat sakit.

"Delhi, sudahlah, kau harus kuat" kata seseorang. Aku mendongak melihat siapakah yang berbicara. Ternyata di sana sudah ada Vee, Kak Victor, Richi, Rachel, dan Dean. Tatapan mereka begitu tulus dengan raut wajah sedih.

"Aku sekarang sendiri, sebatang kara di dunia ini" jawabku.

"Tidak, masih ada kami yang ada disampingmu, kami selalu ada untukmu" jawab Vee.

"Kita akan menemanimu malam ini, kita akan bermalam di rumahmu, hanya sekedar menghiburmu" kata Dean.

"Benarkah? Terima kasih kalian peduli padaku" jawabku.

***

"Vee, Rachel kalian menemaniku tidur di atas. Sedang kak Victor, Richi, dan Dean tidur di kamar bawah. Sebaiknya jangan ada yang masuk kamar ayah dan ibu dulu. Aku punya firasat tak baik" terangku.

"Okey, kami akan manata barang kami dulu" jawab Kak Victor.

"Rachel, Vee ayo kita ke atas" kataku.

"Ayo" jawab Rachel.

***

Malam sudah tiba, aku, Vee, dan Rachel sedang di dapur untuk menyiapkan makan malam. Namun tiba-tiba jendela dapurku diketuk dari luar.

"Del, takut" kata Rachel.

"Sebentar biar kulihat" jawabku. Sebenarnya aku takut, namun aku pura-pura berani agar temanku tidak ikut takut.

Kubuka tirai jendela itu, dan kulihat sosok wanita bertubuh tinggi, bukan tinggi namun terbang. Dia memakai baju serba hitam dan memakai cadar namun cadar itu seperti jaring sehingga wajahnya masih terlihat. Wajahnya sangat putih, sorot matanya tajam, mulutnya seperti sobek dari ujung telinga kanan hingga ujung telinga kiri. Mulutnya hitam dan memamerkan senyum yang sangat menakutkan.

Sosok itu terbang menjauh sambil membawa payung hitam. Namun setelah kuamati di jendela dapur tiba-tiba muncul tulisan dari darah

Kau harus pergi, sang kegelapan bersembunyi di balik tirai cahaya. Berhati-hatilah.

Vee dan Rachel menjerit sangat kencang, hingga para lelaki menuju dapur.

"Ada apa?" Teriak Dean.

"Itu lihatlah jendela" jawab Rachel ketakutan.

"Astaga, kita harus berhati-hati. Ini bisa berbahaya" kata kak Victor.

Setelah kejadian itu kami memutuskan untuk tidak makan malam dan segera tidur. Paginya kami berangkat ke sekolah bersama-sama.

***

Kini sudah 5 bulan berlalu, persahabatan kami berenam semakin rekat.

"Del, kamu pulang sama aku ya. Kak Victor lagi ada rapat kelas, Richi nggak masuk. Jadi kamu sama aku ya" kata Dean

"Terserah, aku naik taksi juga nggak papa kok" jawabku.

"Jangan gitu, kita pulang bareng aja oke?"

"Yaudah oke"

Kami berjalan ke parkiran menuju mobil Dean dan pergi ke rumahku.

Author's POV

Di lain pihak, Rachel sedang berlari ke luar koridor 6 arah dari gudang. Ia lari terbirit-birit karena dia sedang dikejar seseorang yang ingin membunuhnya karena ia terlalu banyak mengetahui tentang banyak hal.

"SESEORANG TOLONG AKU!!!" Teriak Rachel. Namun nihil, tak ada seorangpun yang mendengarnya. Ia sangat ketakutan dan meletakkan catatan sang pembunuh di loker Delhi yang kebetulan tidak dikunci.

Ia melanjutkan berlari, namun sayang, sang pembunuh sudah berada di dekatnya.

"Kembalikan catatan itu atau kau mati" kata sang pembunuh.

"Tidak akan! Sebenarnya siapa dirimu!" Kata Rachel. Sambil menebak nebak wajah sang pembunuh yang tertutup jubah hitamnya.

"Kau terlalu berisik, biar kupersingkat saja hidupmu" kata sang pembunuh, dan jleb..jleb..jleb. Rachel sudah tak lagi bernyawa.

"Ya Tuhan Rachell!!" Teriak bu Ann yang menyaksikan pembunuhan sadis itu. Sang pembunuh yang mengetahuinya kemudian lari menuju kegelapan.

Bu Ann tak tinggal diam, beliau menelpon ambulan untuk membawa Rachel ke rumah sakit.

***
Setelah menunggu sekitar 10 menit, teman-teman Rachel sudah berdatangan.

"Bu, bagaimana keadaan Rachel?" Tanya Delhi.

"Dia sedang kritis sekarang, kita harus menunggunya" jawab bu Ann.

Tiba-tiba dokter membuka pintu dan menuju rombongan kami.

"Maaf, dari kalian ada yang memiliki nama Delhi?" Kata dokter.

"Iya dok, saya sendiri" jawab Delhi.

"Pasien ingin bertemu anda. Hanya anda saja"

"Baiklah dok"

Delhi berjalan masuk ke kamar Rachel, dan dia keluar kamar perawatan Rachel 15 menit kemudian. Di luar sudah ada papa dan mama Rachel.

"Delhi, bagaimana keadaan Rachel?" Tanya Bibi Becca, mama Rachel.

"Rachel sudah sadar, namun masih lemah bibi. Bibi dan yang lain sudah bisa masuk" jawab Delhi.

"Maafkan Delhi yang tidak bisa menjaga Rachel bibi, paman. Ini salah Delhi yang tidak bisa menjaga Rachel" terus Delhi sambil menangis.

"Tidak Delhi, ini bukan salahmu. Ini sudah takdir" jawab Paman Roy, ayah Rachel.

Kemudian mereka masuk ke kamar Rachel. Sekilas Rachel tersenyum dan membuat Delhi mengingat perkataan Rachel tadi membuatnya sakit hati. Bukan pada Rachel, tapi pada si pembunuh itu!

"Ma, Pa, dan semua yang ada di sini, maafkan Rachel. Waktu Rachel tinggal sedikit. Ma, pa, anggap Delhi anak kalian sendiri ya. Biarkan dia tinggal dengan kalian. Aku akan selalu ada untuk kalian" kata Rachel.

"Tidak Rachel! Waktumu masih banyak" kata Delhi.

"Iya nak, mama dan papa akan menjaga Delhi" kata paman Roy.

Rachel tersenyum, dan menghembuskan nafas terakhirnya. Dan kini Rachel sudah tiada. Semua yang ada di ruangan itu menangis histeris, Dean memanggil dokter. Dan dokter menyatakan bahwa Rachel sudah tiada. Delhi, sahabatnya tak mampu menahan diri lagi, ia jatuh pingsan.

BLACK DIAMONDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang