DREI [The Sign(2)]

62 4 0
                                    

Sebelumnya:

Dia langsung memelukku. Ah, ternyata itu bukan sepenuhnya malaikat. Itu malaikat yang menjelma menjadi Mama. Mama langsung memelukku yang sedang terbaring.
"Hiks..."
Air mata Mama turun membasahi pundakku. Ada apa? Kenapa Mama menangis? Ku lingkarkan tanganku ke punggung Mama.
"Mam, ada apa? Kenapa Mama nangis?"

KREEK...

Pintu ruangan berdecit saat dibuka. Papa datang bersama Kakak. Mama melepaskan pelukkannya dariku dan melihat ke arah Papa. Papa kemudian duduk disamping Mama dan memeluk Mama. Mereka langsung menghampiriku.
Papa masih berpakaian rapi dari kantor, Kakak baru saja pulang dari kampus.
"Jun..." Papa melepaskan pelukan Mama kemudian memegang tanganku. Aku bisa merasakan bekas dingin AC mobil yang masih tertinggal di tangannya.
"Jun, le, kenapa lo? Pucet gitu mukanya?" Kakak langsung menempelkan punggung tangannya ke keningku. Entah kenapa, tiba-tiba Kakak refleks menarik tangannya dari keningku. Aku hanya menatapnya lesu.
Kakak langsung berbisik ke Papa, entah apa yang dibicarakannya. Aku tidak bisa ikut bicara, sekujur tubuhku lemas. Mama juga terlihat penasaran tapi masih dengan mata sembab dan hidung yang memerah.
Setelah mereka berdiskusi, Mama dan Papa pun keluar, meninggalkan aku dan Kakak disini.
Kakak menduduki kursi bekas Papa disamping ranjangku.
"Hei"
Kakak menyapaku dengan senyum miring kanannya. Aku hanya membalas dengan 1 kali hembusan nafas. Kakak kembali tersenyum.
"Bi-sa Ngo-mong?"
Kakak bertanya padaku sambil memeragakan tangan yang di buka tutup. Aku memang lemas, jadi sulit untuk berbicara. Tapi, aku kan bukan tuna wicara.
"Bisa" suaraku serak dan lirih. Melayang layang di ruangan ini.
"Wohahahaha...."
Kakak tertawa lepas sampai mengeluarkan air mata. Menjengkelkan sekali, adiknya sedang tidak jelas keadaannya seperti ini malah ditertawai.
"Ha..."
Akhirnya ketawanya berhenti. Aku memasang muka jutek karena merasa dilecehkan. Kakak menatap wajahku serius. Aku balik tak kalah seriusnya.
"Eh, eh, mau tau gak, le?"
Aku menaikkan alis tanda mengiyakan.
"Tadi nih ya, tadi, gue kan diajak anak gengan gua ke rumah angker dideket kampus.."
"Hu-uh..??"
Suaraku mulai pulih, aku semakin penasaran karena cerita yang Kakak ceritakan padaku selalu menarik.
"Nah, lo tau kan, gengan gue itu isinya gue, temen gue yang cowok 3, yang cewek 3"
Ah, iya, itu aku sudah tau dari dulu, Kakak selalu cerita.
"Jadi, cowoknya ada 4 termasuk gue, ceweknya 3. Dan si Nur, cewek yang gue taksir itu, lo tau kan? Dia juga ikut, le! Gila lu!" Kakak menaikkan nadanya di akhir kalimat sambil memukul pundakku.
"Uhhh.."
Aku meringis kesakitan. Kupelototi mata Kakak.
"Heheh... Sorry, le. Gue terlalu excited" ucap Kakak sambil mengelus-elus pundakku yang tadi dipukulnya.
"Terus nih ya, kita bikin undian, siapa pasangan sama siapa, cewe cowo"
"Hu-uh??"
"Dan, tau gak, le??"
"Apa?"
"Gue dapet pasangan sama si Nur!!!"
"Hu-uh, hu-uh"
Aku mengangguk mengiyakan
"Terus nih ya, kita kan masuk bareng berdua, suasana udah mencekam banget, le"
Aku semakin penasaran dengan ceritanya, ku dengar Kakak bercerita dengan serius
"Disana kita buka pintu satu-satu"
Aku hanya diam menyimak
"Abis itu, le, tiba-tiba..."
Aku semakin serius mendengar ceritanya.
"Gue denger suara langkah kaki di lantai dan suara buka pintu di pintu nomor 6 paling ujung"
Aku tidak berkedip saat Kakak masih bercerita.
"Terus, kita samperin kesana"
"Hu-uh"
"Eh, tiba-tiba, le
WHUSSHH!!!"
"!!!"Aku tersentak kaget, tubuhku berguncang, dan suaraku sudah ada kembali.
"Ada yang lewat dibelakang kita putih-putih, kenceng banget"
Oke, aku mulai takut.
"Kita noleh kebelakang, ternyata gak ada apa-apa. Kita lanjutin jalan kita masuk ke pintu yang kebuka tadi. Pas kita masuk, lantainya bunyi CIITT... gitu, le. Kita sama-sama takut. Kamarnya gelap, kita nyalain lampu senternya. Ternyata lampu senter kita sama sama gabisa nyala. Gue tepok tepok senter gue, akhirnya nyala"
Aku masih serius mendengarkan Kakak.
"Tiba-tiba, le, depan kita, hawanya panas banget, dan berasa ada yang napas"
Uhh...
"Gue arahin senternya pelan-pelan dari bawah
Kakinya nggak napak
Roknya rumbai-rumbai
Bajunya berlumuran darah
Dan kepalanya, le...."
Aku sudah mencapai puncak keseriusanku. Pendengaranku sudah sangat tajam.
"BWAA!!"
"AAAKK!!!"
Aku terkejut, aku menutup wajahku, aku berteriak sejadi-jadinya. Jantungku berdegup serabutan seperti sedang berada di depan arena lomba pacuan kuda.
"Jyahahahahaha!!"
Kakak menertawakanku. Uhh, apa maksudnya, padahal dia sudah hampir mati disitu.
"Hahahah.... Gue cuma becanda le.. Hahaha... Gak ada tuh yang namanya uji nyali.. Jyahaha... Gue... Hahah.. Cuma ngarang"
Wajahku memerah karena malu bercampur kesal. Aku memelototi Kakak sekali lagi.
"Grrr..." Aku sangat geram
"Bwahahahaha!!!"

---

If you mind, please vote, kay?
Maaf untuk apdetan yang lama, idenya nyangkut di tikungan
Yang atas itu kurang lebih ilustrasi untuk karakter utama dicerita ini, Jun, sama tanda yang ada di dadanya. Yah, kurang lebih segitu, seadanya aja B^)
Stay tune, keep reading. :)

DimensionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang