ZWEI [The Sign(1)]

57 4 0
                                    

Sebelumnya:

Aku kedinginan, ku naikkan kembali suhu AC ke angka 25 derajat. Tapi, itu semua percuma. Keringatku masih turun dengan deras. Kurasa ini bukan keringat karena kepanasan. Ini keringat karena ketakutan.

Aku kembali berbaring di kasurku. Mencoba melupakan mimpi yang aku alami tadi. Tapi, aku tidak bisa tidur. Aku takut memejamkan mataku. Aku takut akan memimpikan hal itu kembali. Akhirnya kuputuskan untuk menyalakan komputerku. Siapa tau dengan bermain game aku bisa tertidur lalu melupakan mimpi tadi. Lampu tidak kunyalakan karena aku terlalu malas berjalan ke sakelar di ujung kamar. Kuraih tombol power di CPU ku. Tetapi, tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang membakar dadaku.
"Arghh..."
Aku meringis kesakitan sambil memegangi dadaku. Rasa terbakar itu berubah menjadi rasa tertusuk. Sontak, kubuka piyamaku. Semua kancing berterbangan karena kubuka dengan paksa.
"Ugghh!!"
Dadaku bagai di hujam puluhan paku yang masih sangat tajam. Sakit sekali. Badanku langsung jatuh tersungkur di lantai kamar. Aku melihat ke asal rasa terbakar dan tertusuk itu. Ah, ternyata benar, aku sudah menduganya. Tanda itu. Semula tandanya berwarna hitam seperti tinta, sekarang berubah menjadi warna merah menyala dan ada asap yang mengepul yang berasal dari situ. Tanda yang selalu menyiksaku. Kenapa kau selalu memberi penderitaan di saat yang tidak tepat?
Pandanganku menjadi kabur. Aku tidak bisa bergerak. Suaraku tercekat.
"Tolong..." ucapku dengan lirih.
"Mama...
...Papa..."

--

Kubuka mataku perlahan. Rasa sakit itu masih terasa. Badanku sangat lemas dan gemetar. Napas yang keluar dari hidungku hanya satu satu. Aku juga masih dalam keadaan telanjang dada dan tersungkur di lantai. Ku arahkah mataku ke jam digital di mejaku. Jam 07:30. Aku sudah terlambat sekolah 30 menit.

--

Aku mencium bau yang agak asing, tapi sangat membekas. Dimana ya? Sepertinya aku pernah mencium bau itu. Aku pun mempertajam penciumanku
"Jun..."
Ah, ada yang memanggilku. Suaranya sangat cantik. Apa aku sudah mati? Jika iya, mungkin itu suara malaikat yang selalu diceritakan dengan indah.
"Jun..."
Suara itu kembali memanggilku. Siapa itu? Suaranya masih sama. Masih sangat cantik. Hei, bagaimana kau bisa tau kalau kau tidak membuka matamu? Kubuka mataku perlahan. Semuanya serba putih. Mungkin benar aku sudah mati.
"Dimana aku...?"
Aku sudah membuka mataku. Tapi, semuanya masih agak kabur.
"Jun? Udah bangun?"
Suara cantik itu lagi. Kuarahkan pandanganku ke sumber suara itu. Pandanganku masih kabur. Wajahnya tidak terlalu jelas terlihat. Kuterka-terka, umurnya sepertinya lebih tua dariku. Hei, dia memberikan kacamataku. Aku pun mengambilnya, kemudian kupakai kacamataku.
"Ma.. Mama...?"
"Jun..."
Dia langsung memelukku. Ah, ternyata itu bukan sepenuhnya malaikat. Itu malaikat yang menjelma menjadi Mama. Mama langsung memelukku yang sedang terbaring.
"Hiks..."
Air mata Mama turun membasahi pundakku. Ada apa? Kenapa Mama menangis? Ku lingkarkan tanganku ke punggung Mama.
"Mam, ada apa? Kenapa Mama nangis?"

To be continued...
Update agak dipercepat karena author lagi banyak ide
If you mind, please vote :)
Stay tune, keep reading. :)

DimensionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang