With Thalasemia

176 7 1
                                    

Aku memutuskan tidak kembali ke Indonesia. Aku menetap di Paris dan bekerja di sana. Paris menjadi saksi kisah bahagiaku dengan Max. Aku semakin mencintai Max. Kira-kira dua tahun sesudah malam penuh bintang itu, kami memutuskan untuk menikah. Kami begitu semangat menyiapkan pernikahan itu. Di zaman modern ini kita yang ingin menikah harus memeriksakan diri untuk mengetahui riwayat kesehatan masing-masing. Siang itu Max menjemputku, lalu kami pergi ke salah satu rumah sakit terbaik di Paris untuk melakukan pemeriksaan. Sampailah kami di rumah sakit yang megah itu. Kami menemui dokter terbaik di rumah sakit itu untuk melakukan konsultasi. Dokter memeriksa kami. Syarat untuk memperoleh hasil yang akurat menurut dokter adalah pasien harus dalam kondisi normal. Tidak boleh takut atau khawatir. Pemeriksaan dimulai. Kami memasuki ruang lorong. Max di sebelah kanan, dan aku di sebelah kiri. Kami masuk bersamaan. Setelah selesai melakukan pemeriksaan. Kami menemui dokter untuk bertanya beberapa hal.

"Kapan hasilnya bisa diambil?" tanya Max kepada dokter itu.

"Dua hari lagi, silahkan kembali. Aku akan menjelaskan hasilnya" balas dokter itu.

Aku sudah tak sabar menunggu hasil pemeriksaan itu. Dua hari berlalu. Waktu yang aku nantikan datang. Aku dan Max pergi ke rumah sakit itu. Kami berdoa semoga hasilnya baik. Kami mulai masuk ke ruangan dokter. Ingin sekali telinga ku mendengar kabar baik itu. Tapi sayang... Kenyataan tak seindah angan. Hasilnya buruk, lebih buruk dari yang terburuk. Aku merasa sangat terpukul mendengar apa yang dokter katakan.

"Kalian berdua, masing-masing membawa gen Thalasemia. Kemungkinan besar pernikahan kalian harus dibatalkan. Sebab jika tetap dilakukan keturunan kalian memiliki resiko besar mengidap Thalasemia berat," kata dokter itu.

"Apa? Thalasemia? Aku tak pernah mendengarnya," tanya Max pada dokter itu.

"Iya, Thalasemia. Penyakit gangguan pada sistem peredaran darah dimana penderitanya mengalami gangguan pembentukan sel darah merah atau memiliki sel darah merah yang mudah pecah sebelum 120 hari. Sehingga penderita Thalasemia berat harus menjalani transfusi darah berulang dan umumnya umur mereka tidak panjang"

Pedih sekali mendengar hal itu. Aku marah pada diriku sendiri. Mengapa semua ini harus terjadi. Roda terasa berputar drastis. Rasanya baru kemarin aku merasa begitu bahagia, tapi sekarang? Aku merasa begitu hancur. Max memelukku. Lalu berkata:

"Jangan bersedih, ini bukan salahmu, ini takdir yang harus kita jalani"

"Tapi aku tak mungkin membiarkan takdir itu semakin buruk terjadi, apalagi jika anak tak berdosa yang harus menanggung bebannya" kataku sambil menangis.

"Lalu apa yang akan kamu lakukan?" tanya Max.

"Jangan menikah denganku. Mungkin kau akan memiliki keturunan yang lebih baik dengan wanita lain" bisikku pelan.

"Tidak mungkin bisa," Max membentakku.

Dia menatap mataku, menggenggam jariku. Lalu melanjutkan kata-katanya

"Bagaimana mungkin kamu menyuruhku menikahi gadis lain yang tidak aku cintai. Jika hatimu adalah rumah cintaku dan aku hanya punya kunci yang cocok di hatimu. Kira-kira bisakah aku pergi ke rumah yang lain? Apalagi jika harus masuk ke dalamnya" kata Max menasihati aku.

"Aku tak tahu" jawabku pasrah.

Aku lemas. Tak berdaya. Aku berusaha menenangkan diri. Akhirnya pernikahan itu datang. Aku mengucapkan janji sakral itu di Gereja Vatikan. Resepsi pernikahan digelar begitu meriah. Kini dia memasukkan cincin berkilau itu ke jari manisku. Aku pun melakukan hal yang sama. Sekarang kami sudah menjadi sepasang suami istri. Kami hidup bahagia.

                                ***

Tapi...
"Plakk. . ."

check part selanjutnya!

Love In ThalasemiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang