chapter 4

26.2K 2.7K 232
                                    

"Untuk kegiatan penerimaan anggota osis baru, menurut saya masih harus diselenggarakan seperti tahun-tahun sebelumnya. Tujuannya agar anggota osis baru bisa berbaur satu sama lain dan mengenal anggota osis lama yang jabatannya diturunkan. Pendapat lain?" Daffa memandang seluruh anggota osis dengan wajah yang sangar.

Bukan tidak ada alasan dibalik wajah sangar itu. Dia masih tidak terima dengan banyak kesialan yang menimpanya hari ini. Bahkan dia harus ikut ulangan Matematika susulan karena terlambat memasuki kelas Bu Mainar tadi. Terlebih nilanya tidak akan diberi seratus walaupun nanti jawabannya benar semua.

Belum lagi saat istirahat kedua dia kehabisan makanan di kantin. Mulai dari nasi ayam, nasi goreng, mie goreng, mie cup, lontong, jajanan seribuan, semuanya ludes. Jadi tadi Daffa hanya membeli airputih dan 5 permen untuk mengganjal perutnya yang belum makan dari pagi. Diulangi, belum makan dari pagi, dan sekarang sudah pukul 4 sore.

Tentu saja, perutnya memberontak minta diisi. Itu salah satu alasan kenapa Daffa memasang tampang sangar sekarang. Dan otaknya tidak bisa berpikir jernih dari tadi karena terlalu lapar.

Seseorang yang duduk di ujung kursi mengangkat tangan. Seluruh pandangan mengarah padanya, termasuk Daffa. Orang itu adalah Ardian, kelas 11-2 IPS, anggota yang baru masuk beberapa bulan lalu yang dipilih oleh Bu Nur (pembina osis). "Saya memang tidak tau tentang kegiatan itu, tapi saya dengar itu agak kejam? Kenapa tidak dihentikan saja? Apa anda mau balas dendam dengan junior-junior kita?" tanya Ardian berulang kali dengan nada songong, membuat darah Daffa semakin mendidih.

Kalau Ardian itu tidak rajin dengan kerjanya, mungkin Daffa sudah mengajukan nama adik kelasnya yang satu itu ke Bu Nur untuk dikeluarkan. Anak itu sama sekali tidak punya etika pada kakak kelasnya dan suka cari muka dengan para guru. Yang membuat Daffa paling kesal adalah, anak itu pernah mengatakan bahwa Daffa tidak pantas menjadi ketua osis. Sialan.

Akhirnya Daffa menatap Ardian datar lalu menaikan alis kanannya sedikit. "Siapa bilang itu kejam? Cuma kontes memasak, dan itu bakal dibantu sama anggota lama. Saya minta penjelasan tentang 'kejam' yang kamu bilang." tukasnya dingin. Dari gaya bicaranya terdengar Daffa sedang menyudutkan adik kelasnya yang songong itu. Terkesan kekanak-kanakan, tapi kalau gak digituin, anak itu akan tetap melunjak dan memberi pertanyaan yang aneh.

"Mungkin tidak kejam, tapi bagaimana jika salah satu dari mereka tangannya terpotong akibat tidak bisa memotong bahan makanan? Apa anda akan bertanggung jawab?" balas Ardian tak mau kalah.

Rahang Daffa mengeras. Matanya terlihat makin tajam. "Kamu ini telmi atau dungu? Tau gak maksud saya dibantu sama anggota lama? Berarti mereka bisa minta tolong sama Sayed atau Fuji atau siapa aja yang bisa masak." jawab Daffa tak kalah tajam. Anggota seperti Ardian itu memang sangat menyebalkan, dan menyusahkan.

"Lo bilang gue apa? Dungu? Punya kaca gak?"  Ardian melempar gumpalan kertas yang entah didapatnya dari mana, membuat Daffa memejamkan matanya frustasi. Dia harus menjaga reputasinya sebagai ketua osis, jadi tidak seharusnya dia membalas.

Seseorang yang duduk di samping kanan Ardian berdiri. "Interupsi bahasa." orang itu adalah Fuji. Daffa sendiri tidak tahu banyak tentang pemuda itu mengingat mereka tidak pernah satu kelas (meskipun satu jurusan). Tapi dimatanya Fuji adalah seseorang yang tegas dan teliti dalam mengerjakan sesuatu. Daffa sampai heran kenapa pemuda satu itu kalah dalam pemilihan ketua osis kemarin.

Terdengar Ardian mendecih tidak suka. Dia kembali duduk di kursinya sebelum melemparkan tatapan tajam kepada ketua osisnya. "Saya, Ardian Rolan, undur diri dari rapat kali ini. Permisi." ucapnya seraya berdiri dengan raut yang tidak biasa.

[ i ] Raka and DaffaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang