Eleanor
Empat tahun ini orang bilang hidupku sangat kacau. Aku tidak tahu siapa yang patut disalahkan, Tuhan sang pencipta skenario hidup atau justru aku sendiri, atau dia yang masih hilang tanpa jejak, tanpa kabar bahkan aku ragu apa dia masih bisa menghirup udara yang mengandung oksigen dan berbagai gas lainnya ini.
Tapi aku selalu mencoba membuat segalanya lebih baik. Lebih normal. Dan aku selalu mencoba melupakan segala hal yang telah lalu, karena aku ingin terus berjalan sembari melihat ke depan bukan diam di tempat sambil menoleh ke belakang tanpa tahu apa saja yang ada di depanku.
Pagi ini, seperti biasa, aku terbangun dari tidurku yang sama sekali tak nyenyak. Aku menjalankan rutinitas pagiku, menghirup napas dalam-dalam dan berterima kasih kepada Tuhan karena Ia masih mau memberikanku waktu hidup meski sebagaian dalam diriku yang lain sedih karena dewa kematian tak kunjung datang menghampiriku. Selain itu, aku juga meminum satu gelas air.
Pagi ini, seperti biasa, kota London terasa sangat dingin. Aku ingin kembali bergelung di balik selimut, menciptakan angan-angan sampai aku bosan dan kembali tertidur namun aku sadar, ada seseorang yang harus kutangani.
Pun, aku keluar dari kamarku, mengecek London yang tertidur di kamar lain. Ia rupanya masih sibuk dengan dunia mimpinya masih belum ada tanda-tanda bahwa dia akan bangun dan melihat betapa damai wajahnya membuatku enggan untuk membangunkannya.
London adalah keponakanku, anak dari kakakku yang bernama Tasha. Bocah yang sebentar lagi menginjak umur yang ke empat itu terpaksa dititipkan padaku karena Tasha ada urusan pekerjaan di Skotlandia selama satu bulan ini. Tasha tidak pernah percaya dengan baby sitter sehingga saat dia akan bekerja dia menitipkan London pada tempat penitipan anak, di sana juga London bersosialisasi tiap harinya.
Aku kemudian bergegas ke dapur, membuat satu gelas teh untuk diriku dan dua pancake dengan siraman madu. Aku tidak begitu pandai memasak, namun banyak yang bilang bahwa pancake buatanku tidaklah buruk. Satu-satunya orang yang bilang bahwa pancake buatanku sangat buruk adalah Max, seorang pemuda yang bilang bahwa dia adalah sahabatku namun pekerjaannya hanya menistakanku. Ya, begitulah Max.
Bel flat-ku berbunyi nyaring. Aku segera membukanya tanpa mengintip terlebih dahulu karena semua orang pun tahu siapa orang yang biasa datang pagi-pagi sekali ke flat-ku untuk menumpang makan. Ya, benar, dia adalah seseorang yang baru saja kubicarakan, Max.
"Kau sedang membuat apa?" tanya Max seraya menggantungkan jaket yang tadi ia kenakan di gantungan.
Aku berlalu dari hadapan Max seraya berkata, "pancake. Kau tidak suka 'kan? Jadi, ya, hari ini kau tidak dapat jatah makan."
Max mendengus sebal. Tahu-tahu dia sudah ada di depanku, memperhatikanku yang sedang menyiramkan madu pada dua piring pancake.
"Sayang sekali. Tapi aku akan membuat roti isi sendiri," katanya, dan langsung sibuk membuat roti isi.
"Kau mau minum apa? Akan kubuatkan."
"Kopi," jawab Max singkat dan dengan itu aku langsung mengambil biji kopi yang kusimpan dalam kabinet.
Tepat saat Max sudah berhasil dengan roti isinya dan aku sudah selesai membuatkan Max kopi, pintu kamar London terbuka, menampakkan bocah perempuan berdiri di ambang pintu sembari mengusap matanya. Lucu, London sangat lucu.
"Hei, London, kau sudah bangun," sapa Max, ia menghampiri London dan membawa bocah itu dalam gendongannya. Kuperhatikan Max yang menatap London sambil mengusap pipi tambun bocah itu. Kau tahu, Max sekarang terlihat seperti seorang ayah yang menyayangi anaknya dan kuakui itu adalah hal termanis yang pernah kulihat. Aku mulai membayangkan bagaimana jika Max sudah mempunyai istri dan anak, aku pasti akan iri pada istrinya karena bisa sering menonton adegan manis ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tale of Elounor // Elounor ✔
Fanfiction[Completed] Apa yang akan terjadi ketika dua hati yang terluka menyatu? Temuilah Eleanor Calder dan Louis Tomlinson yang akan membawa kalian ke kisah baru. P.s : terinspirasi dari short movie Thailand berjudul 'What If You Could Turn Back Time' ...