[9] Damai, Damai, dan Damai

1.4K 199 10
                                    

"Let the rain wash away all the pain of yesterday."

Eleanor

Max mengatakan hal ini yang terbaik untukku. Aku berkata, tidak siap, tapi pemuda itu kembali berkata bahwa hal ini baik untukku dan jika aku berkata tidak siap, bisa-bisa aku tidak siap selamanya. Sewaktu-waktu Max bisa menjadi pembicara yang pintar dan aku tidak akan pernah bisa membalas ucapannya. Sial, benar-benar sial.

And, here i am.

Di kafe milikku sendiri, ini atas ideku dan Max nampaknya tak masalah dengan semua ini. Didepanku sudah ada kopi capuchino yang tinggal setengah karena belum-belum sudah kuminum, barangkali bisa menghilangkan kegugupanku namun itu tak berarti banyak.

Lonceng berbunyi, seperti biasa, pertanda bahwa ada orang yang keluar atau bahkan masuk dalam kafe. Aku mendongak secara refleks dan detik itu pula bola mataku bersirobok dengan bola mata warna hijau milik seseorang yang tak lagi asing bagiku, seseorang yang cukup banyak mengisi histori kehidupanku. Detik kemudian, cepat-cepat kualihkan tatapanku kearah red velvet cupcake yang segera kuraih dan kumakan.

"Hai," Harry berucap sebelum menarik kursi dihadapanku dan mendudukinya.

Salah satu pegawaiku bertanya soal pesanannya, dan sesuai dugaanku, dia meminta secangkir espreso. Hanya itu, tanpa kue atau segala macam padahal kalau dia mau, dia bisa dapatkan itu secara gratis.

Keadaan menjadi canggung ketika pegawaiku pergi meninggalkan kami berdua. Gelombang kecanggungan ini benar-benar membuatku tidak nyaman, berulang kali aku menggigit red velvet cupcake atau menegak sedikit kopi capuchino-ku. Sedangkan, disebrangku, Harry berulang kali mengganti posisi duduknya yang mengartikan bahwa dia sama tidak nyamannya dengan semua kecanggungan ini.

Ironis, seingatku empat tahun lalu sebelum aku mendapati dia lebih memilih Allison, kami sering terlibat perbincangan intens yang diselipi dengan kecupan-kecupan kecil di bibir.

Hhh,, Eleanor berhenti mengingat hal tak penting macam ini! Aku menggerutu, mengingatkan diriku sendiri.

"Jadi, dimana London?" Harry berbicara, mencoba mencari topik pembicaraan, mungkin.

"Bersama Max."

"Oh," dan setelahnya obrolan menjadi mati.

Salah satu pegawaiku kembali, sekarang dengan satu nampan yang diatasnya sudah ada kopi espreso sesuai permintaannya. Harry mengucapkan terima kasih dengan senyum simpul kemudian menegaknya sedikit sebelum menaruhnya diatas meja, berhadapan dengan cangkir capuchino-ku bagai bidak catur.

"Bagaimana kabarmu?" Tanya Harry ketika aku menggigit gigitan terakhir red velvet cupcake-ku

"Baik, kau sendiri?"

"Baik."

Dan obrolan kembali mati. Kami benar-benar sangat canggung bagai dua orang yang sebelumnya tak pernah kenal. Aku sendiri tak menginginkan hal ini, namun bagaimana lagi, semua gelombang kecanggungan ini benar-benar tak dapat di robohkan.

"Aku minta maaf," Harry memulai kembali konversasi diantara kami dengan ucapan to the point-nya. Kuduga dia mulai lelah dengan obrolan basa-basi karena dia tau betul obrolan bentuk itu akan cepat mati dan membuat keadaan kami berdua semakin canggung saja. "Atas semuanya. Aku bisa memaklumi jika kau tak akan memaafkanku. Kesalahanku sangat amat besar dan tak termaafkan." Harry menghela napas berat, ia melarikan tangannya pada surai keritingnya yang semakin panjang.

"Ya, aku bisa memaafkanmu." Kataku dengan separuh hati. Well, aku masih belum bisa memaafkannya 100%, jika kau berada dalam posisiku, mungkin kau akan tau betul bagaimana perasaanku. Jika saja Max tidak menyuruhku untuk benar-benar berdamai dengan pemuda dihadapanku ini, mungkin aku sudah mengeluarkan semua kata-kata makian yang empat tahun ini hanya ada didalam hatiku, dan meronta-ronta untuk dikeluarkan.

The Tale of Elounor // Elounor ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang