[17] Pembicaraan

1.1K 177 21
                                    

Eleanor

Sesampainya di flat-ku yang sangat sepi, Niall langsung duduk di atas sofa dengan mata birunya yang menjelajah setiap jengkal ruangan yang dapat ia jangkau oleh mata. Sedangkan aku langsung masuk ke dalam kamar, melepas jaket jins yang kukenakan dan menaruhnya sembarang di atas kasur sebelum kembali ke luar untuk membuat Niall jamuan, hanya satu teh hangat dan mungkin beberapa cookies yang masih tersisa dalam kulkas.

Tidak perlu waktu lama untuk menyiapkan semua itu. Setelah selesai, aku bergegas membawanya ke tempat Niall menunggu.

"Wow, apa ini?"

"Teh dan cookies? Maaf aku tidak bisa memberimu lebih dari ini."

Niall terkekeh, ia mengambil cangkir teh yang kuhidangkan dan sebelum menyesapnya ia sempat berkata, "ini lebih dari cukup. Asal kau tahu, aku tidak pernah diberi apapun saat bertandang ke rumah orang, hanya kemarin, waktu aku ke flat Louis dan entah setan apa yang membuat ia memberikan teh untukku. Biasanya, ia selalu membiakanku mengambil sendiri."

Aku tidak tahu harus menanggapi ucapan panjang lebar Niall seperti apa, jadi kuputuskan untuk terkekeh dan mungkin ini terdengar sangat aneh.

"Jadi, kau ingin membicarakan apa?" tanyaku ketika Niall hanya diam dan sibuk dengan cookies juga teh yang kuhidangkan. Aku punya firasat ia mulai melupakan tujuan awalnya datang ke sini.

Niall menghabiskan cookies di tangannya kemudian menegak kembali tehnya sebelum akhirnya menaruh cangkir teh tersebut di atas meja, menyebabkan timbulnya suara 'tuk' pelan yang hampir tak kentara.

"Ini soal Louis."

"Sudah kuduga, jadi ada apa dengan Louis?"

Niall diam sejenak.

"Jujur padaku, kau suka Louis atau tidak?" tanya Niall to the point yang mana membuatku terlonjak kaget dan hampir tersedak oleh air liurku sendiri.

Hey, aku tidak salah dengar 'kan?

Aku suka Louis. I admit it. Sejak kejadian di Tower Bridge di mana kami memandang senja sampai ia menciumku, aku menyadari bagaimana jantungku kembali berdetak dengan sangat cepat karena seorang pria dan bagaimana aku bisa tersipu hanya karena beberapa hal kecil yang dilakukannya.

Tapi, meski aku sudah mengakuinya dalam hati sedikit sulit bagiku untuk mengaku di depan orang lain. I mean, aku sadar aku menyukainya tapi bagaimana jika ini hanya sebuah perasaan sesaat yang akan menghilang beberapa hari setelah ini? Bagaimana jika ternyata hatiku masih terpaku pada seorang Harry dan sebenarnya belum berpindah ke Louis?

Aku takut mengecewakan banyak orang jika memang apa yang kupikirkan terjadi. Kupikir, akan lebih baik semua perasaan ini kupendam sampai aku yakin betul. Lagipula, hidupku belum tertata rapih dan aku tidak yakin Louis dapat menerimaku mengingat ia tau bahwa London yang kuakui sebagai keponakanku sebenarnya adalah anakku.

"Well, i like him as my friend," kataku, memilih berbohong.

Niall di hadapanku mengangkat salah satu alisnya. Bisa kulihat ekspresi kecewanya yang hanya bertahan beberapa detik.

What? Niall kecewa?

Niall menghempaskan punggungnya pada sandaran sofa. Mata birunya menelisik ke arahku seolah sedang menilai apa aku berbohong atau tidak? Kuharap Niall bukan seorang lulusan psikologi dan membuat kebohonganku terungkap beberapa detik setelah aku mengucapkannya.

"Really?"

"Yes," jawabku, terlalu cepat hingga menimbulkan keraguan di wajah Niall.

The Tale of Elounor // Elounor ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang