DRRRTT.. DRRRTT..
Winy melihat ponselnya bergetar di atas tempat tidur. Ada satu pemberitahuan baru. Pesan singkat dari Ammar. Winy membuka pesan itu dan membacanya.
Ammar : Lagi ngapain?
Winy : Gak lagi ngapa-ngapain.
Winy membalasnya tak berminat. Sudah dijelaskan, Winy sedang perang batin dengan sikap dia. Ya, dia orang yang sama dengan orang yang Winy hindari seharian ini di sekolah.
Dia juga yang memaksa Winy membuat batasan kesabarannya. Dan lagi lagi dia yang membuat Winy cenat-cenut apakah bisa bertahan dengan sikap bunglonnya. Dia Ammar Sandhika. Orang yang mengisi hatinya selama tiga bulan belakangan ini.
Hape Winy bergetar lagi. Ammar membalas pesan singkat dari Winy.
Ammar : Yaudah, aku mau kumpul sama anak-anak. Main basket sekalian ngomongin lomba.
Sudah Winy duga. Harusnya dirinya tidak perlu membalas pesan dari Ammar kalau ujung-ujungnya hanya meminta izin untuk bermain basket. Winy benar-benar kesal. Tidak bisakah Ammar memperlakukan Winy layaknya seorang pacar?
Sebenarnya pacarnya itu Winy atau bola basketnya?
Katakan Winy berlebihan hanya karena kekasihnya selalu mementingkan basket ia merasa diduakan olehnya. Winy merasa bahwa Ammar terlalu berlebihan menangani ekskul basket di sekolahnya. Lupa makan, pulang malam, hanya untuk memikirkan solusi agar ekskul basket sekolahnya naik ke permukaan.
Bukannya Winy melarang atau apa, setidaknya kurangi sedikit saja. Tidak baik jika hal ini berlanjut terus-menerus. Bukan hanya berdampak bagi hubungan mereka, melainkan Ammar pribadi. Ammar yang terkadang lupa makan pasti akan menimbulkan masalah pada pencernaannya. Dan Winy mengkhawatirkan itu.
Juga jika Ammar selalu pulang malam, bisa jadi ia kekurangan jam tidur sehingga mengakibatkan staminanya menurun.
Atau lebih baik jalan masing-masing saja daripada harus menyiksa batin satu sama lain. Winy merasa hanya ia yang mengkhawatirkan Ammar. Sendirian ia mengerti Ammar. Tidak berlaku sebaliknya. Bukankah dalam menjalin hubungan harus saling mengerti satu sama lain?
Winy melempar sembarang ponselnya ke atas ranjang. Ia putuskan untuk tidak membalas pesan Ammar. Lebih baik ia memejamkan matanya. Winy yakin besok akan menjadi hari yang panjang.
*****
"Kak Wiiinnn, cepetan udah ditunggu Mama Papa di meja makan." Adik Winy, Vanny, menggedor-gedor pintu kamar dengan tidak sabar.
"Iya, sabar. Sedikit lagi selesai."
Winy mematut diri lagi di cermin. Rambut lurusnya diikat satu seperti ekor kuda dengan ikat rambut berwarna biru laut dan pita merah di atasnya. Wajahnya dioleskan sedikit baby powder agar terlihat lebih fresh. Sentuhan terakhir, lip balm agat bibirnya tetap lembab sepanjang hari. Dirasa cukup, Winy mengakhiri sesi merias diri dengan tersenyum pada cermin.
Winy membuka pintu kamar dan melihat adiknya sudah siap dengan seragam putih-birunya. Dibuat kepangan sepanjang rambutnya yang dibelah dua. Tas ransel hijaunya pun sudah bertengger manis di punggung mungilnya.
Winy menyampirkan tas ranselnya di punggung sebelum benar-benar meninggalkan kamar kebesarannya. Mereka menuruni tangga dengan Vanny berada di depan Winy.
Tanpa ba-bi-bu Winy langsung menyambar roti tawar yang telah di panggang sebelumnya dan mengolesnya dengan selai srikaya. Setelah menghabiskan roti, Winy meminum susu yang Mama buatkan untuknya dan juga Vanny. Katanya untuk menambah tinggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Harbour
Teen Fiction"Mantan itu.. kayak perahu, dan kita pelabuhannya. Suatu saat perahu itu akan singgah di pelabuhan. Dan suatu hari nanti akan pergi meninggalkan pelabuhan karena tujuannya bukan pelabuhan tersebut." "Gimana kalo--misalnya perahu itu gak mau pergi p...