Winy POV
Aku mengernyit ketika Ammar menghentikan laju motornya lagi. Kali ini bukan di sebuah rumah makan. Melainkan di sebuah rumah berukuran sedang dengan taman yang luas dilengkapi dengan tempat bermain.
Ammar mengajakku memasuki rumah itu, memasuki salah satu ruangan. Aku melihat banyak anak-anak kecil berusia sekitar tiga sampai lima tahun sedang bermain berbagai macam mainan yang ada.
"Ka-Maaaalll!!" Ucap salah seorang gadis mungil berambut sebahu. Aku tertawa mendengar panggilan gadis kecil itu kepada Ammar yang penyebutannya seperti kata kamar.
"Hai, Acha.. Gimana kabar kamu?" Ammar berkata seraya mengelus puncak kepala gadis yang kuperkirakan berusia tiga tahun.
"Baik, Kak.." Jawab gadis bernama Acha dengan senyuman yang membuat siapa saja menjadi ikut tersenyum jika melihatnya. Termasuk aku.
Anak ini sangat menggemaskan. Sangat lucu. Aku jadi ingin mencubit pipinya yang gembil itu. Aku memang menyukai anak kecil. Menurutku tingkah mereka sangat polos dan terkadang sering membuat tertawa.
Tak lama anak kecil itu mengalihkan pandangannya ke arahku. "Kakak pacalnya Kak Mal, ya?" Tanyanya cadel.
Aku tersenyum menanggapi pertanyaannya. "Emangnya kamu tahu pacar itu apa?" Tanyaku balik. Anak sepolos ini tahu dari mana kata pacar.
"Kata Kak Mal, pacal itu olang yang ada di sampingnya. Kan, sekalang kakak ada di samping Kak Mal, belalti kakak pacalnya Kak Mal," jawabnya polos.
Harusnya aku tahu dari mana anak ini mengetahui kata pacar. Siapa lagi kalau bukan Ammar. Kebanyakan dari mereka berumur di bawah Ammar. Dan aku yakin mereka masih polos untuk mengetahui apa itu pacar.
"Iya, kakak pacarnya Kak Ammar." Aku menjawab jujur. Lagipula mau bilang apa? Toh, mereka tidak mengetahui arti dari pacar itu sendiri. Anak kecil itu mengulurkan tangannya ke arahku mengajakku untuk berkenalan.
"Namaku Acha, nama kakak siapa?"
Aku mensejajarkan tinggiku dengannya. Aku membalas uluran tangannya sambil tersenyum ramah. "Nama kakak, Kak Winy."
Aku kagum dengan anak ini. Dia pandai beradaptasi dengan orang baru. Jabatan kami dilepasnya dan aku langsung mencubit pipinya. Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Aku sudah sedari tadi ingin mencubit pipinya.
Setelah menyapa beberapa anak, Ammar mengajakku berkeliling rumah ini. Ternyata ini rumah singgah. Rumah ini digunakan untuk anak jalanan yang tidak mempunyai tempat tinggal. Mereka dibina untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Aku dan Ammar menuju halaman belakang rumah singgah Cinta Kasih. Aku takjub melihat sebuah taman yang terawat dengan rumput hijaunya. Kami bergegas menuju kerumunan yang sepertinya sedang mengadakan kegiatan belajar-mengajar disana.
"Hai, semua.. Liat nih, kakak bawa apa.." Ammar berkata dengan sangat ceria sambil menunjukkan sebuah kantong plastik besar yang tadi kami bawa dari rumah makan.
Anak-anak--yang kuperkirakan berusia belasan tahun itu berdiri dan berlari menghampiri kami yang berjarak dua meter dari tempat kegiatan. Ammar memberikan masing-masing satu bungkus nasi beserta lauknya kepada anak-anak jalanan.
"Makasih, Kak Mar."
"Terima kasih, Kak."
Dan masih banyak lagi ucapan terima kasih yang dilontarkan anak-anak ini kepada Ammar.
"Jadi, ini orang yang sering lo ceritain?" tanya seorang lelaki yang tadi mengajar anak-anak jalanan. Lelaki itu menghampiri kami.
"Yoi. Kenalin ini Winy, pacar gue. Dan Winy, kenalin ini Kak Raihan, aktivis sekaligus pengajar anak-anak jalanan di sini." Ammar menganalkanku dengan Kak Raihan begitupun sebaliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Harbour
Teen Fiction"Mantan itu.. kayak perahu, dan kita pelabuhannya. Suatu saat perahu itu akan singgah di pelabuhan. Dan suatu hari nanti akan pergi meninggalkan pelabuhan karena tujuannya bukan pelabuhan tersebut." "Gimana kalo--misalnya perahu itu gak mau pergi p...