#02. Kemunculan Dion

173 12 1
                                    

"Tadi itu ibumu?"

"Bukan, itu tanteku."

"Lah? Orang tuamu kemana?"

"Mereka . . . udah nggak bersama lagi. Aku . . . sudah melupakan mereka."

"Zahra . . ."

"Jangan bahas mereka lagi."

[=][=][=][=][=][=][=][=][=][=]

Dion

Aku tahu, aku yakin cewek ini pasti Zahra! Sorot matanya yang hampa, kesedihan mendalam yang tersembunyi dibalik senyuman itu, dan sifat dinginnya pada orang asing. Ya, mungkin ia tidak ingat aku, tapi masa' ia lupa? Bukan, aku tidak mengandalkan jahitan nama di bajunya.

Ia terlihat bingung. "Iya, saya Zahra," katanya mengiyakan. Maaf, anda siapa ya?"

Nah, itu sifat itulah yang paling kuingat. Dingin bagai salju di gunung es, dan itulah yang kurasakan pertama kali kami bertemu. Tatapannya yang kaku itu juga khas sekali, aku hapal betul. Masalahnya, kenapa hanya aku yang ingat?

Tetap saja aku tak ingin mengambil resiko salah orang. "'Bentar," kataku sambil mengangkat tangan. "Kamu Zahra yang tinggal di dekat taman, kan?" alisnya terangkat sedikit.

Oke, ini konyol tapi nyata. Aku kenal Zahra, tapi sekalipun tak pernah tahu nama panjangnya, jadi aku hanya bisa mengingat detil-detil yang lain.

"Zahra yang dulu dikejar waria sampai jatuh ke selokan sampai bajumu basah semua itu, kan?" lanjutku, dan mata Zahra melebar.

Iya, aku tahu itu kejadian yang konyol, tapi yang paling terbesit di ingatanku tentang Zahra ya kejadian itu, yang merupakan pertama kalinya kami bertemu.

[=][=][=][=][=][=][=][=][=][=]

Waktu itu masih siang, sekitar jam dua, dan matahari bersinar cerah di langit tak berawan – maklumlah, waktu itu musim kemarau – aku baru saja pulang sekolah dan aku sedang berjalan-jalan untuk menghilangkan stress. Gila banget soalnya. Masa' ujian praktek Bahasa Indonesia harus buat makalah seabrek. Astaga hampir pecah kepalaku saat itu.

Aku berjalan di pinggir tangan untuk mengurangi stress. Tamannya luas dan berdandan pohon-pohon rindang yang hijau menyegarkan mataku yang kelelahan ini. Dan di sudut mataku, kulihat seorang cewek dengan tas berjalan pelan di pinggir jalan. Meskipun agak jauh, aku bisa melihat jelas kalau dia sama sekali tidak senang. Tapi dari wajah datarnya terlihat dia tak ingin diganggu siapapun.

Tapi jalan santainya diganggu dengan munculnya seorang waria dari ujung jalan mengejarnya, entah kenapa. Jelas-jelas dia cowok, tapi dia pakai baju (apa itu? Gaun???) cewek dan sepatu hak tinggi yang patah. Waria itu ganas sekali! Ia mengejar cewek itu dengan kencang sambil teriak-teriak. Oke, kesimpulan: dia waria gila.

Tak bisa dibiarkan, seseorang harus berbuat sesuatu! Kutinggalkan tasku di bangku taman dan lari secepat mungkin ke arah cewek itu. Oh, tidak, mereka belok ke gang sempit. Bukan masalah, aku bisa menyusul.

Set, set ,set. Dan aku sudah tiga meter di belakang waria itu. Kulihat sekilas tangannya yang besar itu mencoba memegang cewek itu. Tanpa pikir panjang langsung kudorong dari belakang sekuat tenaga.

Entah apa yang kupikirkan. Aku mendorong waria itu, dan ia terpental ke depan menabrak cewek tadi, mendorongnya masuk ke selokan di depan yang penuh air. Ia pun tersadar dan berusaha menyeimbangkan dirinya agar tidak masuk selokan. Ia berhasil, tapi dia membenturkan kepalanya ke tiang lampu dan pingsan. Aku hanya bisa menepuk mukaku melihatnya.

Lalu aku teringat cewek yang tadi. Dia gak apa-apa?

Ia berusaha naik ke jalan jadi kubantu dengan menarik tangannya. "Hei! Kamu nggak apa-apa?" sahutku saat ia berhasil naik.

EQUATOR - Not Everyone Deserve Second Chance [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang