7

23 3 0
                                    

Kuhempaskan kekesalan yang kurasakan ditubuhku. Kubanting tubuhku ke kasur yang telah disediakan Capitol untuk distrik ku. Merasa lelah dan kesal.

Kenapa Katniss Everdeen, kesayangan Capitol, begitu bersinar di hari pertama latihan, sedangkan aku apa? Apa yang kuperbuat? Jika aku kembali ke ruangan latihan itu, aku hanya akan dianggap tolol oleh musuh musuhku.

Apa mungkin benar kata Brutus?
Bahwa aku telah termakan oleh ucapanku sendiri?

BODOH.

Akupun berjalan pergi dan hendak menuju ke kamar mandi ketika kudengar suara ketukan mengetuk pintu kamarku.

"Siapa?"

"Merci,"

Aku berjalan ke pintu, membukanya, dan tersentak kaget ketika Merci membuka pintu, mendorongnya, dan mengacungkan sebuah pisau dengan cepat ke arah perutku. DIA BERNIAT MEMBUNUHKU DISINI.

Dengan gerakan yang cepat, akupun memutar pergelangan tangannya, memasukan diriku melalui celah dibawah lengannya, menyebabkan diriku ada diantara lengan dan dadanya, dan membalikan tangannya menghadap dirinya sendiri.

"APA YANG MAU KAU LAKUKAN?" tanyaku sinis. Dia bergeretak, tapi ku tahan tangannya dan kukunci bagian pinggulnya. Hingga dia berteriak kesakitan.

"Tenang,.. Tenang... " Katanya sambil menjatuhkan pisau yg ada ditangannya.

Akupun melepaskan dirinya.

Merci mengusap usap pergelangan tangannya. Dan ia pun menoleh kearahku.

"Liat, kau cepat," katanya. Mata kami saling bertemu. "Kau lemah, tapi kau cepat. Kau tau, di Arena, kekuatan bukan satu satu nya hal yang mendominasi. Tapi kau tak memiliki kepercayaan. Kepercayaan kepada sekutu. Kepercayaan bahwa dirimu bisa Menang. Kepercayaan bahwa ini semua bisa berakhir."

Akupun menatap Merci. Tak terasa aku semakin dikuatkan dengan kalimat Merci. Seseorang yg kuanggap agak sinting karena tingkahnya yang aneh.

"Lalu apa yang harus ku perbuat?"

"Tanyakan ada dirimu." Merci membuka pintu dan menutupnya keras, meninggalkan diriku yang merosot jatuh, menatap pisau yang dijatuhkan oleh Merci tadi.
Tak tau apa yang harus ku perbuat, kedinginan, seolah olah jiwaku terlepas dari tubuhku. Menyisahkan lubang yang tak akan kembali sempurna.

Aku sadar.

Aku cepat, secepat Kijang.
Pintar, sepintar Merpati.
Tapi Licik, selicik Ular.

Dan aku Ular,
Ular yang terperangkap dalam kebodohan.

~ || ~

Kembali ku dihadapkan pintu besar, yang menyebakan rasa muak di perutku timbul.

Yaa, hari ini adalah hari kedua di sesi latihan. Bisa dibilang hari terakhir sesi latihan. Sebelum penilaian individu tentunya. Aku masuk kedalam, dan menyebabkan bau morfin segera mengisi seluruh tempat diparu paruku. Bau keputusasaan.

Sama seperti kemarin, aku hanya berkeliling.

Dari sudut mataku, aku dapat melihat Brutus sedang memburuku melalui sorot matanya, dan membisikkan sesuatu kepada teman sedistriknya, Enobaria. Lalu mereka tertawa bersama. Tak kuperdulikan apapun yg mereka lakukan.

Kulihat diujung ruangan, Katniss, sedang duduk sendiri, melihat kearah Plutarch Heavenbee, Juri pertarungan tahun ini. Aku tak tau alasan apa yg Capitol gunakan , sehingga Seneca Sae diganti. Tapi apaun itu, aku tau dia telah dibunuh. Dan Apapun itu juga, AKU TAK PEDULI. Toh mereka adalah dalang penyebab kematianku disini.

Aku mendekat kearahnya.

"Apapun yang kau lakukan disini," katanya sinis, tanpa memalingkan wajahnya kearahku. "Jika itu karena kau meninginkan sekutu, kau datang di orang yg salah. Aku bukan lah sekutu yg baik."

"Tak perlu kau tanyakan, AKU SEDANG TIDAK MENCARI SEKUTU." jawabku menatap masam Katniss. Rupanya masih ada nada kekesalan di kalimatku yg meninggi di akhirnya.

Katniss melihatku.

Dan aku menatapnya seolah aku tau dia takkan mampu membunuhku hanya dengan tatapan mematikannya itu. Aku tersenyum nakal kearah Wanita Terbakar satu ini.

Lalu aku berjalan santai melewatinya dan berjalan ke arah arena kapak, untuk melihat Johanna Mason, sedang berlatihan dengan kapaknya.

"Tolol," katanya "mereka membutuhkan tampilanmu, Sayang."

Dia berhenti sejenak.
Dia menatapku lalu menatap kearah tepat dibelakangku.Dia memberiku isyarat melalui matanya. aku berpaling.

Dan aku sangat berharap aku tak berpaling saat ini.
Tapi aku terlambat.
Aku telah melihat harga diriku diinjak disana.

Dalam jarak 6 meter dibelakangku, Brutus, membawa patung badan seseorang, ia mengambil tinta merah dan, dgn menggunakan tangannya, ia menuliskan Nama ku diatas patung tersebut, dan membanting patung tersebut. Dalam sekali bantingan, patung itu pecah hingga menjadi berkeping keping.

Menggambarkan bahwa Aku Lemah. Dan dengan sedikit geretakan saja, Diriku sudah retak , pecah , dan mati.

Seluruh ruangan hening seketika. Kudengar tawa , ejekan, penyemangat, yang masih terdengar seperti ejekan ditelingaku, bercampur aduk dengan udara morfin yang memenuhi ruangan. Menyesakkan. Memuakkan.

Tapi terlebih buruk lagi, Tatapan mata mereka. Mata mereka menunjukan belas kasihan. Tapi sesungguhnya, mereka terlalu cepat mengasihani diriku.

Aku mengambil pisau terdekat, dan berlari secepat mungkin, menerjang kearah Brutus. Dengan cepat, aku menendang perut Brutus, mengunci lehernya dengan tulang keringku, dan menancapkan pisau tersebut ke telapak tangan Brutus.

Sesaat Brutus mengerang kesakitan.

Aku mendekatkan bibirku kearah telinganya, dan kupastikan bahwa seluruh ucapanku, mampu ditangkap olehnya, maupun seluruh peserta di ruangan ini.

"Jika kau berpikir aku lemah, Kau salah. Liat dirimu, Nyawamu," aku menyabut pisau di tangannya. "Sekarang berada pada tangan gadis kecil yang kau sebut Lemah!"

Tapi sebelum tanganku terayun kearah jantung Brutus, tiba-tiba seluruh penglihatanku kabur, dan hal terakhir yang kulihat adalah mata Merci yang bersinar ketakutan, hingga semuanya menggelap.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 17, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

In 3rd Quarter QuellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang