"Clay!" Aku menengok."Hn?"
"Gue rasa gue ada crush sama lo."
---
Pagi ini ternyata Rangga sudah berada di kelas lebih awal. Sedang tertawa bersama para fans genitnya. Ewwh. Aku duduk di bangku di sebelah Rangga, karena memang itu tempat dudukku. Rangga sama sekali tak menghiraukan ku. Jangankan untuk menyapa, melirik saja tidak.
Sudah saatnya jam istirahat. Fyuuh selama pelajaran Rangga sama sekali tidak berkata sepatah katapun padaku. Rangga kenapa?
Drrrtt .. drrtt..
Sms?
From: 0857xxxx
bagus! Sekarang lo udah gak kelenjehan ama Rangga. Selama lo ga deket-deket sama Rangga, Rizki aman.
To: 0857xxxxx
please, lo jangan apa-apain Rizki gua gak mau dia kenapa-kenapa.
From: 0857xxxxx
Tergantung. Hahah.
Aarrrrgghh. Aku bingung. Aku harus apa? Menurutmu aku harus apa? Di satu sisi aku gak mau Rizki kenapa-kenapa. Di sisi lain aku gak kuat di diemin sama Rangga gini.
"Nih lu makan," seseorang menyodorkan kotak bekal berwarna biru padaku.
Aku mendongak. Rangga?
"Lu gak usah mikirin terror murahan gitu. Cepet ambil mumpung gak ada yang liat. Kalo si tukang terror liat bisa bahaya nih," ucapnya sambil duduk di sampingku. Aku masih menatapnya heran.
Bagaimana tidak? Tadi dia acuh, sekarang baik. Arrrgghh ngeselin. Dia lagi mempermainkan aku?
"Gua cuekin lu karena gua tau si peneror gak suka lu deket gua kan? Trus, lu ngekhawatirin si Rizki? Yaudah kalo lagi rame gua cuek dulu ke elu. Udahlah Clay dibawa santai aja. Rizki baik-baik aja kok. Lu makan, nanti malah sakit," dia mengelus puncak kepalaku. Mampus gua, merah banget pasti muka gua.
Aku mengambil kotak bekal itu. Ekspresi Rangga berubah menjadi dingin. Benar-benar dingin. Ck, pandai berakting juga rupanya.
Tiba-tiba Rizki masuk kelas. Menatap ku dengan tatapan tajam. Oh, ralat. Sangat tajam. Tatapan tidak suka. Kenapa ini?. Baru saja aku ingin menghampirinya, eh datang gadis di belakang Rizki membuntutinya.
ck, dasar buntut.
Dia menyeringai. Dia? Siapa? No no bukan Rizki, tapi gadis itu. Ya, Anggia. Kenapa dia menyeringai ke arah ku dan Rangga. Dan anehnya lagi, Rangga seakan membalas seringaian Anggia.
Tuhan ada apa ini?
Drrrtt.. drrtttt...
Line? Dari Rizki?
Rizki: poker! Najis!
Clay: maksud?
Rizki: muna!Aku menoleh ke arah Rizki. Ku lihat dia sedang memainkan handphone nya. Berarti tadi memang Rizki yang mengirim Line.
Dia balik menatapku. Masih dengan tatapan yang sama. Tajam. Tuhan, sakit melihat dia menatapku seperti itu.
Serasa ditusuk pisau, lalu dicabut kemudian ditancapkan lagi dalam-dalam.
Merebahkan tubuh di kasur sangat membantu merileks-an pikiran. Aku berjalan ke arah jendela. Melihat keluar jendela. Ya, dari sini aku bisa melihat rumah Rangga. Tunggu, itu siapa? Mobil sedan putih yang kemarin. Rangga tampak berbincang dengan orang yang di dalam mobil. Mereka tertawa. Terdengar jelas olehku suara tawa mereka. Mereka kenal? Hhm, itu bener mobil sedan yang kemarin kan? Apa dia ya yang menerorku? Tapi, masa sih? Ah bodo amat lah.
Aku memutuskan untuk turun ke bawah. Ke dapur sepertinya tujuan utamaku. Aku haus.
Itu siapa ya lagi di ruang tv? Tunggu, itu papah? Yak, itu beneran papah. Papah udah pulang, yeaay. Berarti mamah udah pulang dong.
"Papaah ku cuyuung" aku berlari ke arah papah.
Papah tersenyum. Tapi ada yang aneh dengan senyumannya. Senyum meremehkan.
"Papah kecewa sama kamu Clay" ucap papah dengan nada saaaaangaaaatttttt datar.
"Lho, emang aku salah apa pah?" Tanya ku polos.
"Apa aja yang udah kamu lakuin sama laki-laki itu selama papah dan mamah pergi?" Nada bicara beliau mulai meninggi. Aku takut.
"Clay gak ngerti maksud papah. laki-laki mana sih pah?" Aku masih tidak mengerti.
Plak.
Tamparan papah sukses mendarat dengan mulus di pipi kanan ku. Perih. Aku menangis.
"Clay masih gak ngerti maksud papah apa sampe nampar Clay gini?" Ucapku dengan lemah. Aku menatap sendu papah. Yang aku tangkap hanya tatapan kecewa dan emosi dari mata papah.
"Papah gak pernah ngajarin kamu untuk bohong apalagi bermuka dua. Kamu tau papah paling benci dibohongi kan? Kamu tau papah paling benci kepercayaan papah disia-sia in kan? Tapi kenapa kamu melakukan itu, hah?" Bentak papah. Aku masih menangis. Tangisku menjadi.
Aku berlari menuju kamar. Membanting pintu sekeras mungkin. Menguncinya, lalu bercerita semuanya kepada teddy bear kesayanganku.
Semuanya sama aja. Papah, Rizki lah. Kenapa semuanya jadi gini sih? Aku gak ngerti.
Sakit hati ku karena Rizki tadi pagi belum hilang. Sekarang ditambah oleh bentakkan dan tamparan dari papah.
Seperti luka yang masih basah kemudian dicabik-cabik setelah itu disiram oleh alkohol. Kalian bisa membayangkan betapa perihnya bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Misunderstand
Fiksi RemajaKetika kesalahpahaman yang mewarnai kisah cinta mereka hampir membuat mereka berpisah jauh. Tak ada satupun yang mengerti satu sama lain. Tak ada yang mengerti bahwa hati ini bersatu.