'Pacar pertama bukan berarti cinta pertama. Bahkan aku tak mengerti apa itu cinta yang sesungguhnya.'
Bel tanda masuk sekolah telah berbunyi, kami bergegas masuk karena ini adalah hari pertama kami masuk kelas sebagai siswa baru di sekolah menengah pertama (SMP). Kami, siswa baru yang tergabung di kelas 1B. Aku tentunya akan duduk dengan temanku yang sudah aku kenal dari SD. Yang rumahnya tak jauh dari rumahku.
Sambil menunggu guru atau yang nantinya akan jadi wali kelas ku, aku memperhatikan suasana kelas dan anak-anaknya. Namun, tiba-tiba mataku terpaku pada sosok remaja laki-laki yang duduk di bangku samping ku. Aku terus memperhatikan gerak-geriknya. Namun, ia tak sadar jika sedang ku perhatikan. Karena aku duduk di pojok dan terhalang temanku yang gemuk.
Dia terlihat pendiam, atau mungkin karena belum banyak teman? Ya, mungkin saja.
Dia tenang, setenang air.
Dia jernih, sejernih matanya yang coklat.
Dia manis, semanis senyumnya.
Dia lembut, selembut sutra tutur katanya.
Dia ringan, seringan kapas bahasa tubuhnya.
Dia cerdas, secerdas pandangannya.
Dia renyah, serenyah tawanya.Aku kembali fokus saat wali kelas kami ada di depan, untuk memperkenalkan diri dan meminta kami untuk memperkenalkan diri kepada teman-teman. Satu persatu anak-anak memperkenalkan diri dari anak yang ada di pojok depan. Aku sudah tak fokus, karena terkadang aku melirik ke bangku samping ku. 'Siapa ya, namanya?' bisik ku dalam hati.
Dia terlihat akrab dengan teman sebangkunya, sesekali mereka bercanda tapi aku tak tahu apa yang mereka bicarakan. Sampai tiba gilirannya untuk memperkenalkan diri. Aku dan yang lain menengok ke arahnya, karena kami duduk di barisan paling belakang dan aku yang paling pojok dan artinya aku yang terakhir memperkenalkan diri.
"Nama saya, Azka Ardhani. Kalian bisa memanggil saya, Azka. Terima kasih." Dia duduk kembali setelah memperkenalkan dirinya.
'Oh, namanya Azka Ardani. Nama yang indah, seindah Allah menciptakannya.' Batinku. Aku berpikir bagaimana caranya agar bisa dekat dengannya, sedangkan aku hanya lah gadis pendiam. Aku sampai tak sadar kalau sekarang giliranku memperkenalkan diri, jika teman sebangku ku tak memberi kode.
"Aisyah Ayudia Inara. Teman-teman bisa memanggil ku, Nara. Terima kasih." Aku melempar senyum kecil lalu duduk kembali. Karena malu, mereka memandang ku dengan pandangan yang sulit aku artikan.
Hari pertama hanya diisi dengan perkenalan, dan pemilihan ketua kelas serta anggotanya. Sambil sesekali aku melihat ke arahnya dengan diam-diam. Dia sudah dapat beberapa teman, namanya juga lelaki pasti mudah adaptasi. Namun, aku juga sudah dapat teman selain teman sebangku ku. Hari pertama berakhir.
***
Sudah hampir satu semester, tapi aku masih tak berani menyapanya. Aku terlalu malu. Teman-temanku terlihat akrab dengannya. Sulit sekali menyingkirkan rasa malu ini. Melihat seperti ada rasa yang abstrak, yang sulit di deskripsi kan.
Hari ini kami satu kelompok yang berisi 4 orang. Tugas diskusi, tentang permasalahan kota jakarta. Dia terlihat sangat cerdas dengan pemikiran dan pembawaannya. Aku tersenyum tanpa sadar saat sedang memandangnya. Dan tanpa ku duga, dia melihat ke arah ku dan balas tersenyum. Seketika itu aku tak dapat mengalihkan pandanganku dari wajahnya. Senyumnya sangat manis. Dan untuk pertama kalinya, aku jatuh cinta.
Bel berdering tanda jam pelajaran berakhir. Aku sedikit kecewa karena aku merasa kehilangan saat dia mengalihkan pandangannya ke depan. Namun, masih ada hari esok. Aku harus bersabar. Bersabar. Dan bersabar.
Setelah hari itu, aku jadi begitu bersemangat untuk berangkat sekolah. Dengan senyum merekah di bibir ku. Tak sabar menunggu bel masuk kelas, agar dapat melihatnya. Begini rasanya jatuh cinta. Ketika tatapan kami bertabrakan, degup jantungku terasa semakin cepat dan sulit sekali ku kendalikan. Wajah ku terasa memanas, karena senyumnya.
Bulan-bulan berlalu, rasa itu makin terasa kuat dan dalam. Namun, aku tak berani mengungkapkannya. Berbicara dengannya saja aku malu. Kecuali jika mengenai tugas sekolah. Sepertinya dia pun tak berniat menyapa ku terlebih dulu. Mungkin karena melihat sikapku yang pendiam, kecuali ke teman dekat.
***
Tahun ajaran berakhir, saat ini aku masuk kelas 2C. Aku tak sabar, apa Azka sekelas denganku lagi atau tidak. Namun, senyum ku langsung memudar saat aku melihat daftar murid 2C tak ada namanya di sana. Dia ada di kelas 2A.
Aku hanya dapat menyimpan rasa ini seorang diri. Mengamati dan mengaguminya dari jauh. Tiap kali berpapasan, kami hanya saling melempar senyum tanpa sapa. Jantung ku terus memompa dengan cepat. Rasanya sesak, tapi tak menyakitkan. Hanya ada rasa bahagia.
Dia telah mundur selangkah demi selangkah, dan semakin jauh hingga sulit untuk ku gapai. Ku lihat dia tertawa bahagia dengan lingkungannya. Aku hanya tersenyum melihatnya. Walau sesekali kami satu kelas saat Bimbel kelas 3 yang di adakan oleh sekolah. Karena aku termasuk pintar, jadi kami sekelas tiap hari sabtu. Itu merupakan kebahagiaan tersendiri untukku. Selebihnya kami seperti orang yang tak saling mengenal.
***
Dua tahun berlalu. Kini aku tengah duduk di bangku kelas 2 SMK swasta. Yang ku dengar, dia melanjutkan di SMKN yang menjadi favorit di Jakarta. Aku sama sekali tak punya kontaknya. Aku juga hilang kontak dengan teman-teman SMP kecuali sahabat-sahabatku. Entah berapa lama aku merenungi ini semua. Rindu terasa mencekik ku. Album kenang-kenangan sekolah, cukup mengobati rasa rinduku selama 2 tahun terakhir.
Masa putih abu-abu, aku menikmati masa remaja ku. Sedikit melupakan sosok laki-laki remaja yang bernama 'Azka Ardhani'. Aku mencoba untuk membuka hati untuk yang lain, yang menawarkan cinta semu.
Pacar pertama ku, aku begitu menyanyanginya. Kami berbeda sekolah, kami bertemu di suatu acara sekolah. Raka Aldiansyah, itu namanya. Hampir 1 setengah tahun kami bersama, pada akhirnya dia pergi. Memilih gadis lain yang lebih segalanya. Kecewa? Itu pasti, namun aku mampu mengatasinya. Cukup sekali aku pacaran.
***
Aku merapatkan kedua mataku. Kembali mengingatnya, mengingat senyum manis yang terlukis di wajahnya. Cinta pertama ku. Lalu ku buka mataku, tersenyum kecil saat ingatan itu melintas. Sederhana, namun indah.
Sudah 8 tahun ini. Dan aku berhasil menemukannya, walaupun di media sosial. Setidaknya kembali melihat senyumnya, walau hanya foto profil nya. Aku ingin menyapa dan mengungkapkan jika kau adalah cinta pertama ku. Aku sungguh menyapanya lewat pesan di media sosial, hanya sekedar basa-basi dan aku meminta nomor handphonenya. Dia memberikannya, aku bahagia.
Suatu ketika, aku mengirim pesan padanya. Awalnya hanya untuk bertegur sapa dan bertanya kesibukan. Namun, aku tak sanggup menahan rasa ini. Aku mengungkapkan, bahwa aku mencintainya sejak lama. Aku tak peduli terlihat murah di depannya. Yang jelas aku cinta padanya, aku ingin kembali bertemu dengannya. Aku ingin dia tahu, bahwa dadaku sesak saat aku mengingatnya. Namun, apa balasan dia? Dia balas, 'Jangan ajak aku untuk berbuat maksiat.'.
Aku hanya tersenyum getir, sesak itu semakin mendera. Namun, kali ini rasa sesak itu menyakitkan. Aku hanya membalas, 'Itu bercanda kok. Cuma mau tahu balasan dari orang seperti kamu. _'.
***Tahun ke 10 datang. Kini kabar tentangnya tak ku ketahui lagi. Aku mencoba bangkit, melupakan rasa yang menyesakkan ini. Aku telah mengaguminya 10 tahun lamanya. Menghibur diri dengan ingatan senyum dan tawa renyahnya. Aku tahu, dia sadar jika aku menyukai nya bahkan lebih. Aku tahu, rasa yang pernah ku ungkapkan adalah kenyataan yang coba dia ingkari.
Entah dia tak melirik ku karena kita berbeda pendirian, atau karena dia sama sekali tidak tertarik denganku. Yang aku tahu, dia begitu sulit untuk ku raih. Dan yang aku tahu cinta kita berbeda.
Melupakannya itu yang tersulit, sungguh sulit. Aku mencoba belajar mencintai yang lain. Namun, namanya telah terpatri indah di sudut kalbu. Beritahu aku, dengan cara apa aku harus menghapusnya?
10 tahun aku terbelenggu dalam cintanya. 1 hari dia menghempaskan rasa ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepenggal Kisah (Kumpulan Cerpen)
Short StoryHitam dan Putih dalam kehidupan, goresan pena dalam kisah ku. Nyata dan maya, iringi perjalanan panjang. Perjalanan dengan satu tujuan yang sama, berbeda jalan. Berliku dan berkelok, batu kerikil bagai sandungan. Suara-suara binatang, sebagai tem...