Move On

478 5 0
                                    

'Belajarlah untuk bersabar, belajarlah untuk menerima. Karena kelak buah manis yang akan kau petik. Semua butuh proses dan semua ada waktunya.'

= = =

Aku sakit, ini bukan sakit secara fisik yang mampu di obati. Ini sakit yang kasat mata. Ya, aku sakit hati. Sakit yang mampu membuat mimpi indahku hancur. Aku berusaha untuk tegar, namun air mata ini dengan sombongnya berkelana.

"Bil..."

"Hmm..."

"Kamu baik-baik aja? Aku ke sana, ya?" Tanya Nana dengan nada khawatir.

Aku tersenyum, membayangkan wajah khawatir sahabatku. "Aku nggak apa-apa kok, tenang aja."

"Tapi, kamu nggak boleh sendiri." Aku bingung apa maksud Nana bicara seperti itu.

"Memang kenapa?"

"Aku takut kamu melakukan hal-hal bodoh, Bil."

Aku mengerti apa maksud Nana, apa dia kira aku sebodoh itu. "Aku masih punya harga diri, Na. Jadi, kamu tenang aja. Aku nggak akan melakukan haal-hal yang ada dalam otak pintar kamu itu."

"Syukurlah. Kalo gitu sekarang kamu istirahat. Kalo ada apa-apa hubungi aku."

"Baiklah. Wassalamu'alaikum, Nana."

"Wa'alaikum salam." Tutupnya dari sebrang sana.

Saat ini aku sedang terbaring di ranjang. Ku tutup kedua mataku rapat-rapat. Aku menangis, menangis sepuasnya. Menyesali sikapku yang naif, sikapku yang buta akan kebenaran. Padahal Nana, sahabatku telah memberitahukan beberapa kali tentang mereka. Namun, dengan bodohnya aku tidak percaya akan ucapannya. Dan malah mempercayai Angga. Tak terpikir olehku, cinta dan kepercayaanku di khianati olehnya. Betapa bodohnya aku!

= = =

"Bil!" Langkahku terhenti, saat ada seseorang yang memanggilku. Kulihat Nana berlari kecil menghampiriku, dengan wajah cemasnya.

"Ada apa, Na?" Tanyaku datar.

"Kamu nggak apa-apa kan?"

"Yang kamu liat?" Aku tahu dia sangat mengkhawatirkanku. Tapi apa harus berlebihan seperti itu?

"Tapi, Bil..."

Aku memotong ucapannya. "Aku baik-baik aja. Trima kasih udah peduli." Aku tersenyum sambil menggandeng tangannya untuk masuk kelas.

"Bila!" Seru Nisa.

Aku hanya melempar senyum, lalu duduk di sampingnya.

"Angga tadi kesini, nyari kamu!" Katanya ketika aku sudah duduk di sampingnya.

"Lalu?" Jawabku datar.

"Dia bilang mau ketemu sama kamu. Katanya ada yang mau dia jelasin." Aku hanya mengangguk, dan Nana masih setia mendengarkannya.

"Penjelasan?" Tanyaku sambil menautkan alis.

"Beri dia kepastian, Bil!" Nisa makin kesal karena sikapku yang tak peduli.

"Semua udah jelas, Nis. Saat dia sudah memutuskan untuk menentukan pilihan dan berpaling. Dia harus mampu menerima segala resiko." Ucapku tegas.

"Keras kepala." Gerutu Nisa pelan, namun masih dapat ku dengar.

Aku hanya tersenyum. Mereka tidak berada di posisiku, jadi dapat berbicara dengan mudah. Aku yang menjalani, aku yang merasakan. Merasakan sakit saat kepercayaanku di salah gunakan. Aku yang begitu teguh memegang kesetiaan. Namun, apa yang aku dapat sekarang? Pengkhianatan.

= = =

"Hai, Nabil." Sapa Sam.

"Hai." Jawabku dengan malas, setelah tahu siapa yang menyapaku. Karena hanya ada satu orang yang memanggilku dengan nama 'Nabil'.

Sepenggal Kisah (Kumpulan Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang