Kecewa

1.5K 11 1
                                    

Aku masih diam terpaku memandang buku harianku, ada bait kata-kata pahit yang belum lama ku tulis dengan tangan yang bergetar. Berulang kali ku menghembuskan napas panjang. Entah sudah berapa banyak air mata yang aku buang dengan percuma. Jujur, aku lelah dengan keadaan ini.

Ingatanku melambung jauh ke kejadian 7 hari yang lalu. Kejadian dimana aku hancur oleh orang yang ku cinta dan sayang, pacar dan sahabatku sendiri. Entah apa yang sudah aku lakukan terhadap mereka, sehingga mereka tega melakukan ini terhadapku. Lagi-lagi aku menghembuskan napas panjang, dan tersenyum miris.

= = =

Tujuh hari yang lalu, hari dimana mereka berdua mengkhianatiku. Bagaimana bisa mereka bersekongkol untuk menghancurkanku? Membuat dunia ku runtuh, jantung ku seakan berhenti berdetak, dan sulit bernapas. Ingin ku luapkan segala amarah yang membuncah. Namun, dengan apa? Aku tak tahu, hanya menangis yang ku tahu.

Tega? Iya, mereka sangat tega. Mereka tak memikirkan perasaanku. Mereka menggoreskan luka di hati ini terlalu dalam, bahkan sangat dalam. Entah, apakah maaf mampu ku ucapkan untuk mereka.

Sore itu cuaca sedang mendung, awan gelap pertanda hujan akan turun. Beberapa kali halilintar saling bersahutan silih berganti. Aku yang sedang berada di angkutan umum, segera turun ketika angkutan yang ku tumpangi berhenti di tempat tujuanku. Ya, aku berencana ke toko buku yang ada di mall ini. Ketika aku turun dan masuk ke dalam mall, hujan deras langsung turun.

"Alhamdulillah, nggak kehujanan." Gumamku pelan.

Saat memasuki mall, hembusan udara sejuk langsung menerpa tubuhku. Tidak seperti tadi ketika di dalam angkutan. Karena di luar ketika mendung atau hujan, justru udara terasa panas. Aku langsung berjalan menuju toko buku, untuk membeli beberapa novel. Aku tersenyum ketika sudah mendapatkan barang yang ku cari. Namun, tak lama senyumku memudar ketika aku melihat orang yang ku kasihi sedang makan berdua dan saling melempar senyum dengan bahagia. Bahkan tanpa canggung mereka sesekali saling menyuapi.

"David, Amel!" Ucapku dengan pelan, ketika aku berdiri di samping meja mereka.

"Kara!" Seru mereka berdua, terkejut ketika melihatku dan segera menghentikan aksi menyuapi. Wajah mereka terlihat pucat, mungkin tak mengira aku akan melihat mereka seperti ini.

"Ka-kamu? Sedang apa kamu disini?" Tanya David dengan gugup. Ku lihat Amel hanya menunduk, entah apa yang ada di pikirannya. Aku mencoba tersenyum, walau terlihat terpaksa.

"Apa yang kalian lakukan?" Tanyaku dengan sangat pelan, karena tak ingin memancing keributan.

"Ini tak seperti yang kamu pikirkan, Kara!" David mencoba untuk meyakinkanku.

"Aku tidak buta, Dav!" Aku langsung berjalan dengan cepat. Aku tak sanggup melihat mereka.

"Kara, tunggu!" David berlari mengejarku. Namun, aku tak memperdulikannya. Aku terus berjalan keluar mall.

"Kara, dengarkan aku dulu." David berhasil memegang lenganku, menahanku agar aku tak lari. Aku tetap diam, dan hanya menatapnya lurus-lurus.

"Kara, ini tak seperti yang kamu lihat. Percayalah padaku, Sayang." Pinta David. Tangannya bergetar ketika menggenggam tanganku. Lalu aku menepisnya dengan kasar.

"Lalu, apa menurutmu yang aku lihat, Dav? Bisa kamu jelaskan padaku?" Aku mencoba untuk tidak menangis, tapi dengan lancang air mata ini mengalir dengan deras.

"A-a-aku..." suara David bergetar, wajahnya memerah.

"2 tahun. Apa artinya selama ini, Dav? Jika kamu memang bosan padaku, katakan. Jangan seperti ini!"

Aku terisak. Kakiku gemetar, aku mencoba bersandar pada pohon yang ada di belakangku. David hanya diam menatapku, matanya memerah dan berkaca-kaca. Tak lama, Amel keluar dan berdiri di samping David dengan mata yang sembab.

"Apa salahku pada kalian berdua? Katakan! Kalian orang yang aku sayang, tapi kenapa kalian tega melakukan ini padaku?"

"Ra, aku bisa jelasin semua ini. Ra, dengarkan aku?" Isak Amel, mencoba mendekatiku.

"Berhenti! Jangan mendekat!" Amel berhenti, dan menatapku dengan tatapan yang tak ku mengerti.

"Sudahlah. Aku sudah melihat semuanya. Aku tidak buta dengan apa yang kalian lakukan. Bahkan di tempat umum." Ucapku dengan senyum getir.

"Selama ini aku bodoh sudah mempercayai kalian. Kalian dengan tak berperasaan menghancurkanku. Apa kalian tak memikirkan aku? Jawab!" Bentak ku dengan emosi yang tak terkontrol.

"Kara..." David tak sanggup melanjutkan ucapannya.

"Amel..." Aku menunjuknya. "Selama ini aku sudah menganggapmu sebagai sahabat, bahkan keluarga. Kita mengenal bukan baru setahun dua tahun, tapi sudah hampir 6 tahun, Mel. Tapi apa yang ku dapat, kamu mengkhianatiku. Kamu tahu aku cinta sama David, bahkan kami merencanakan untuk bertunangan. Tapi dengan teganya kamu berbuat seperti ini. Sahabat macam apa kamu ini!?" Teriakku diakhir kalimat. Aku semakin terisak.

"Dan kamu, Dav... kamu tahu bagaimana perasaanku terhadapmu. Tapi apa? Apa salahku?" Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku.

"Aku lelah. Aku sudah tak sanggup. Semua berakhir ketika kalian mengawali permainan ini." Aku menatap mereka berdua.

"Dan semoga kalian bahagia dengan pilihan kalian. Dan jangan coba untuk meminta maaf, karena saat ini sulit untuk memaafkan kalian berdua. Tapi percayalah, suatu saat nanti aku akan memaafkan kalian. Semua takkan sama lagi setelah kejadian ini." Ucapku dengan lirih, aku mencoba tersenyum.

"Ka... kara..." Ucap mereka bergetar. Aku hanya memandang mereka lalu aku pergi menjauh.

= = =

Aku menutup buku harianku, dan menatap jauh keluar jendela. Sudah cukup aku berkabung, saatnya aku bangkit dan berdamai dengan rasa sakit ini. Walau sulit menghapus rasa kecewa ini, namun suatu saat akan terhapus tak tersisa. Dan aku bisa memaafkan mereka dengan hati yang lapang. Dan esok, ku harus membuka lembaran baru yang lebih putih.

"Terima kasih, untuk semua cinta dan rasa sakit ini. Semoga itu terbaik untuk kalian." Ucapku lirih ketika menutup daun jendela.

END

Sepenggal Kisah (Kumpulan Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang