(4) Tersesat

505 38 2
                                    

Tersesat

Terkadang, kata benci itu tercetus hanya untuk menutupi rasa yang sebenarnya.

"Maafin gue yah Cessa. Gue sayang elo."

Kata-kata itu membuatnya berhenti. Tangannya yang menempel pada knop pintu langsung lemas seketika, pintu yang belum terbuka sepenuhnya itu hanya memberi sedikit celah untuk melihat ke dalam. Dan mungkin karena itu juga, orang yang berada di dalam sana tidak menyadarinya.

Dari celah-celah pintu, Syifa memperhatikan Bagas yang kini duduk di samping tempat tidur Salsha. Niatnya untuk masuk tadi ia urungkan seketika. Dari tempatnya berdiri, tadi ia bisa mendengar, kata-kata yang Bagas ucapkan.

Niatnya tadi adalah untuk memanggil Bagas karena disuruh oleh Oma Mela. Agar cowok itu segera beristirahat dan membiarkan Salsha juga beristirahat sendiri. Tadi, Saat mendengar kabar Salsha yang jatuh ke jurang, Reynand dan Mela langsung menuju ke sini.

Tanpa menyadari kehadiran Syifa, Bagas menatap wajah damai Salsha yang sedang tertidur. Sepersekian detik, cowok itu mengalihkan pandangan lalu menunduk dengan tangannya mencengkram sisi jeansnya. Hampir saja ia akan menyesal seumur hidupnya, jika terjadi sesuatu dengan sahabatnya ini.

Salsha memang manja, cerewet, menyebalkan, dan Bagas dengan temperamen tinggi yang gampang sekali tersulut emosinya, tapi tadi adalah pertama kalinya mereka bertengkar sehebat itu. Bagas meraih telapak tangan Salsha, menggenggamnya. Membayangkan masa-masa dimana ia menggenggam tangan itu. Masa-masa kebersamaan mereka selama delapan tahun ini. Lantas senyumnya merekah,

Satu yang Bagas tahu, sehebat apapun pertengkaran mereka tadi, tidak akan mengubah apapun. Sesuai perjanjian mereka, akan menjadi sahabat dulu, sekarang, nanti dan selamanya.

Sadar telah menghabiskan beberapa menitnya hanya untuk berdiri di depan pintu kamar itu, akhirnya Syifa memutuskan untuk turun ke bawah. Ia tidak tahu kenapa, tapi rasanya sesak sekali, saat mendengar Bagas mengucapkan kalimat tadi. Mungkin 'sayang' yang Bagas maksud tidak sama dengan apa yang difikirannya, tapi dari tatapan cowok itu ke Salsha, membuat Syifa merasa ada puluhan jarum-jarum kecil yang menusuk dadanya. Syifa berusaha untuk menghapus pikiran-pikiran gilanya, ia tidak ingin semuanya menjadi beban dan sampah yang lantas akan memenuhi isi otaknya.

"Aku gak boleh suka sama Bagas!"

***

"Jadi, pas sendal aku putus, aku nyari sesuatu buat benerin sendal itu, dan aku ngeliat paku. Pas aku nunduk mau ngambil pakunya, aku malah ngeliat ada kaki seribu di deket kaki aku, jadi aku mundur trus lompat lompat sendiri, dan gak sadar malah kepeleset , dan aku baru sadar tentang jurang itu waktu aku udah jatoh. Aku sempet masih sadar, dan jatohnya gak dalem dalem amat, aku coba buat naik dengan megang akar akar pohon atau apapun yang bisa aku tarik, sambil terus teriak minta tolong. Tapi akhirnya aku ngerasain badan aku guling guling, kepala aku kepentuk batu, dan udah... Aku gak inget apa-apa lagi." Salsha mengakhiri penjelasan panjangnya. Semua yang ada di meja makan--yang sejak tadi mendengarkan--kini manggut-manggut mendengar penjelasan gadis yang bahkan sudah sesemangat tadi bercerita.

Salsha memang sudah siuman sejak semalam, dan beruntung lukanya tidak ada yang serius. Hanya lecet-lecet yang kini menghiasi kulit mulusnya di beberapa bagian. Namun itu bukan masalah bagi gadis ini.

"Berarti yang salah sendal lo dong yah.." Seloroh Bagas memecah keheningan. Seolah yang barusan dikatakannya adalah hasil dari pemikiran serius. Salsha mendelik, sahabatnya satu itu memang benarbenar yah!

"Bagas.." Oma Mela yang menegur. Sementara Bagas hanya menyeringai, memperlihatkan jejeran giginya.

"Udahlah.. Gak ada yang salah. Toh aku juga gak kenapa-napa." Tangan Salsha bergerak untuk menyentuh keningnya yang di plester, "Luka ini juga gak bikin sampe amnesia."

Kepada Bintang-Bintang [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang