(5) Kemana Perginya Bintang di Langit Jakarta?

388 34 0
                                    


"Syifa?"

"Ah?"

"Lo kenapa? Hihi muka ditekuk tekuk begitu." Komentar Bagas sambil terkikik. Syifa mendengus kentara. Ah Bagas tidak peka!

"Capek, Gas. Kamu harusnya tau setelah apa yang aku alamin hari ini." Ucap Syifa sambil menangkupkan tangan ke mulutnya yang kini menguap. Mengantuk. Tidak bohong memang, tapi lebih tepatnya, ia hanya malas mendengar pembahasan tentang Salsha.

"Yah.. Jangan tidur dulu dong. Gue mau nunjukin sesuatu buat lo." Rajuk Bagas. Syifa mengangkat sebelah alis, sedikit tertarik. "Nunjukin apa?"

Bagas tersenyum penuh arti, diraihnya lengan kanan Syifa, lantas ia tuntun gadis itu agar mengikutinya.

***

Sreeett

Untuk kesekian kalinya Salsha menghembuskan napas berat. Berjam-jam telah ia habiskan untuk menumpahkan ide-ide yang mengalir dari kepala. Deadline untuk mengirim update-an episode terbaru untuk komiknya yang diterbitkan majalah Fiza tinggal sehari lagi, tapi belum ada dari gambar-gambar maupun alur cerita yang ia hasilkan yang dirasa pas. "Ayo dong Sha, masa cerita segajelas ini yang mau lo kasi ke editor FIZA besok?!"

Gadis bersurai coklat itu memandang nanar bola-bola kertas yang bertebaran di dekat kakinya. Semua itu berisi hasil gambarannya yang berakhir dengan remasan kesal.

Ia menggeser layar ponselnya, melihat-lihat lini masa di salah satu aplikasi social media, berharap dapat menemukan sesuatu yang mampu memberikan inspirasi untuknya.

Merasa sia-sia karena menghabiskan hampir tiga puluh menitnya tanpa mendapat inspirasi apapun, akhirnya Salsha memutuskan melangkah menuju balkon. Dimasjkkannya kedua tangan ke dalam saku, agar tak terlalu merasakan dingin angin malam.

Tapi langit Jakarta tetap sama. Kosong dan gelap. Memang untuk melihat kerlip bintang-bintang di langit malam Jakarta, begitu susah. Yang ada hanya desau lirih angin malam yang mempermainkan rumpun tanaman bambu hias di halaman depan rumah Salsha.

Salsha sudah akan berbalik dan kembali menekuni komiknya saat melihat dua manusia yang dikenalinya juga ke luar menuju balkon di rumah besar di seberang. Keduanya tidak berjalan bersisian, melainkan melangkah berbaris dengan tangan Bagas yang menutup mata Syifa di depannya.

Dengan jarak yang cukup jauh, dari balkon kamarnya yang berhadapan tepat dengan balkon tempat Bagas dan Syifa, Salsha masih bisa menangkap gerak-gerik dua orang itu. Walau penglihatannya tak lagi begitu jelas, terhalang kaca-kaca yang ingin meluruhkan diri menjadi air mata.

Masa seperti ini sudah pernah ia lewati, tapi bukan berarti bahwa ia ingin ini terjadi lagi. Ia belum siap, atau bahkan tidak pernah siap, melihat Bagas dengan gadis lain lagi selain dirinya.

Salsha tidak ingin menjadi si nomor dua lagi. Inginnya adalah menjadi yang nomor satu dan jadi satu-satunya gadis di hidup Bagas.

Dulu Salsha harus berlapang dada saat Chindai menjadi si nomor 1 bahi Bagas, kini Chindai telah pergi tapi hadir lagi Syifa. Si gadis desa yang sangat beruntung. Bahkan lebih beruntung daripada Chindai, karena Syifa bahkan tinggal serumah dengan Bagas. Apalah daya Salsha yang hanya tinggal di rumah seberang, yang kini bahkan tidak lagi berangkat dan pulang bersama Bagas.

Bagas dan Syifa masih di sana, menatap ke satu titik, yang Salsha tahu adalah titik yang sama dengan yang pernah ditunjukkan Bagas padanya, saat awal-awal pertemanan mereka. Di sana, di pekarangan rumah keluarga Ardian, terdapat pepohonan dan belukar yang menjadi habitat kunang-kunang yang sengaja diperkembangbiakkan. Di malam hari, serangga bercahaya itu bergerombol menyelimuti pepohonan. Serangga-serangga kecil itu memendarkan cahaya kehijauan mereka, menjadi pemandangan ajaib dan memanjakan mata.

Kepada Bintang-Bintang [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang