Dalam hidup, kadang kita tidak punya pilihan. Yang ada hanya vonis yang harus dijalani, mau tidak mau.
"Oma.."
Melati Andrea. Wanita yang usianya sudah kepala enam itu menoleh ke arah cucunya yang baru saja duduk di sampingnya. Ia sudah hafal betul jika cucu laki-lakinya itu seperti ini, pasti ada maksud tertentu. "Kenapa?" Tanyanya sambil memperbaiki letak kacamata tanpa bingkainya, lantas kembali menekuni rajutannya yang sudah setengah jadi.
"Eemm.." Karel melirik Omanya penuh arti, "Tanggal 3 bulan depan, Karel pengen ke Semarang ya sama anak-anak fotografi?"
"Bukannya waktu itu udah pernah ke Lombok? Kok ini mau jalan-jalan lagi?" Mela menurunkan kembali rajutannya ke pangkuan, dan menatap Karel serius. "Bagas juga kemaren izin pengen basket. Kalian ini udah kelas 3 loh, walaupun pintar, Oma mau kalian focus sekolah, dan mulai belajar bisnis."
"Ini kegiatan terakhir aku kok, Oma. Sekalian perpisahan gitu. Setelah ini, gak ada ekskul lagi. Karel janji. Boleh ya, Oma?"
"...."
"Kemaren katanya Bagas juga minta izin, berarti dibolehin, kan? Masa Bagas boleh aku gak boleh?" rajuk Karel.
Jika sudah seperti ini, Mela paling tidak bisa menolak. Lagipula sangat jarang Karel meminta sesuatu. Mela tersenyum tipis pada cucu laki-lakinya, dielus kepala Karel dengan lembut, "Setelah ini gak ada fotografi lagi, kan?"
"Emm.. aku keluar klub fotografi, tapi masih mau foto-foto." Karel meluruskan sambil menggoyangkan kamera polaroid yang menggantung di lehernya—sebuah kamera tua yang menurutnya sudah langka dan merupakan salah satu hal paling berharga bagi Karel.
Sebenarnya Karel memiliki banyak kamera, mulai dari DSLR hingga kamera analog milik papanya—yang sudah rusak namun tetap ia simpan. Akan tetapi yang paling sering ia gunakan adalah kamera polaroid kado dari papanya di ulang tahunnya yang ke-7 ini. Selain karena ia bisa mendapatkan cetakan fotonya dalam satu menit, foto yang dihasilkan juga lebih berkesan dan berharga.
"Oma cantik deh." Karel menyerahkan hasil jepretannya yang baru saja pada Mela.
Wanita senja itu tersenyum, memperhatikan potret dirinya yang sedang mengangkat alis. Yang kata Karel 'cantik'. "My expression..." Mela sebenarnya senang jika Karel hobi terhadap sesuatu. Apalagi ini adalah hobi anak laki-laki jagoannya, papa Karel. Mela juga sering melihat foto-foto hasil jepretan Karel, yang menegaskan bahwa bakat anaknya, menurun juga pada cucunya. "Okay, boleh. Dan jangan berhenti memotret, seperti yang kamu bilang."
Mata Karel berbinar mendengar penuturan Oma, "Siap! Makasih, Oma."
"HALOOO AKU PULANG." Bagas muncul dari pintu dengan suara menggelegarnya. Sebenarnya sengaja, karena lagi-lagi ia jengkel melihat moment kebersamaan Karel dengan Omanya—Oma Bagas.
Karel sudah hapal betul gelagat saudaranya ini, ia pun bangkit berdiri, "Halo juga, Kak Bagas." Ucapnya dengan tampang datar.
"Gue bukan kakak lo." Balas Bagas tak kalah datar.
Mereka beradu tatapan untuk beberapa detik, sebelum ekspresi Karel berubah terkejut saat melihat seseorang di balik punggung tegap Bagas.
Kedua alis tebal Karel hampir menyatu. Bersamaan dengan itu, Syifa juga mengangkat wajah dan menatap ke arahnya. Sejenak dua pasang mata itu beradu pandang.
"Di... Dia.." Karel membatin. Otaknya langsung bekerja cepat. Memunguti kembali kepingan-kepingan kenangan yang kemarin sempat ia buang, lantas menyusunnya hingga memunculkan berbagai dugaan. Memunculkan sebuah harapan yang sempat hilang dimakan waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepada Bintang-Bintang [Revisi]
Ficção AdolescenteCopyright© 2015 'Nur Fadilah Syawal' Cek INTRO + PROLOG untuk trailer^.^