(3) Bisakah Cinta Hadir (Karena Terbiasa)?

488 34 0
                                    



Sudah beratus-ratus kisah cinta yang kutonton maupun kubaca, sebagian besar mengatakan bahwa cinta bisa hadir karena terbiasa. Tapi untuk hari-hari yang telah kita lalui bersama, adakah cinta itu hadir untukku?

Syifa menatap pintu di depannya nanar. Ia tidak mengerti kenapa rasanya sesesak ini. Atau mungkin karena ini pertama kalinya ada yang membentaknya? Syifa menghapus air matanya. Ia tahu ia salah. Ya, memang salahnya. Masuk kamar orang lain tanpa izin. Dia pikir dia siapa? Hanya gadis beruntung yang diajak tinggal di rumah ini, dan dengan begitu jadi seenaknya. Iyakan?

Syifa menarik nafas dalam dalam lantas mengembuskannya perlahan. Ah... Semakin mengembang saja rasa bersalahnya pada Karel. Belum juga dimaafkan soal jus jeruk tadi siang, sudah begini lagi. Syifa pun berjalan gontai menuju dapur yang ada di lantai bawah.

Saat sibuk meneguk segelas air untuk membashi kerongkongannya yang entah mengapa terasa kering sekali, mata Syifa tak sengaja melirik ke arah sebuah baskom plastik biru di atas mesin cuci. Lebih tepatnya pada benda di dalam baskom itu.

Syifa mendekat untuk memastikan penglihatannya, dan senyumnya terukir saat menyadari benda itu adalah kemeja putih dengan noda kuning beraroma jeruk. Diraihnya benda itu untuk ia cuci. Namun sebelumnya, ada yang menarik perhatiannya.

"Kariz Marvel?"

***

Di sekolah baru ini, jujur saja Syifa tidak suka jam istirahatnya. Bukan karena sebentar atau lama, tapi, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya di jam istirahat. Sudah tiga hari ini, Bagas sibuk dengan tugasnya sebagai anggota Osis dan panitia MOS. Membuat cowok itu selalu tidak ada di kelas dan Syifa baru bisa bertemu dengannya saat mereka pulang bersama--yang itupun kadang harus pakai acara ditunggu sampe sore segala. Jadi bisa bayangkan bagaimana suntuknya jadi Syifa yang jadi anak baru, belum punya teman, harus menunggu pula.

Syifa melirik jam tangannya, masih ada 15 menit tersisa untuk istirahat, dan terlalu sayang untuk di lewatkan hanya dengan duduk bengong sendiri di kelas. Akhirnya Syifa pun memutuskan untuk mengunjungi perpustakaan.

Setelah menyusuri hampir setengah bagian perpustakaan dan Syifa belum juga menemukan buku yang menarik minatnya, Syifa berhenti di depan sebuah rak. Dari judul rak yang tertera disana, rak tersebut adalah rak yang memajang arsip-arsip tentang kegiatan-kegiatan yang pernah terjadi di sekolah. Dengan penuh semangat, Syifa langsung mengambil beberapa kliping yang ada.

Syifa tersenyum kecil, melihat prestasi-prestasi yang pernah dicapai oleh sekolahnya. Sayang, ia masuk sebagai seorang siswi kelas tiga, sehingga ia tidak di perkenankan untuk mengikuti ekskul apapun. Di halaman terakhir kliping seni, Syifa berhenti cukup lama. Ia mengamati foto dan secuil berita yang ada disana.

Kening Syifa berkerut. Ini kan kliping tentang seni, kenapa ada berita begini? Syifa membuka halaman sebelumnya yang tadi memang ia lewati begitu saja, begitupun ke halaman-halaman sebelumnya lagi hingga ke sampul depan. Dan ia baru sadar, kliping ini bukan kliping seni biasa, tapi semacam biografi seseorang yang--mungkin murid sekolah ini--dan berprestasi dalam seni.

Syifa mengulang membacanya dari awal. Kali ini dengan hati-hati agar ia bisa mengerti. Saat di halaman pertengahan, ada beberapa kumpulan foto-foto gadis yang menjadi judul kliping ini dalam berbagai ekspresi. Di belakang piano, di belakang panggung, menerima piala, bersalaman dengan presiden, mengangkat piala lain, sedang bernyanyi, menangis--mungkin terharu dan terakhir... Tersenyum manis dengan seorang cowok berdiri di sampingnya, yang Syifa kenali sebagai... Bagas.

***

"Sekolah ini terlalu keren kalo cuma diabadiin dalam bentuk kliping."

Gadis bermata sipit yang sejak tadi sibuk menyortir buku ke dalam pelukannya itu menoleh ke arah sahabatnya, yang tadi bergumam dan sekarang malah menatap rak-rak kliping.

Kepada Bintang-Bintang [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang