Bagian Satu

29 4 0
                                    

Liburan selama tiga minggu adalah hal pertama yang kusyukuri. Dan selanjutnya, bagaikan mimpi buruk. Aku harus menjaga Mini Marketku dan menjadi kasir. Itu hal yang bagus di Karangasem, tepatnya di Kubu. Di depan Mini Marketku ada Kedai yang akan ramai tiap harinya, dan semakin ramai di malam hari.

Namaku Ayu. Aku cukup dikenal banyak orang. Entah itu dari kalangan anak-anak, remaja, dewasa, bahkan orangtua. Kenapa? Mungkin aku dermawan. Orangtuaku sangat baik hati, ia akan menolong semua orang yang kesusahan di sekitarnya, yang bahkan tak ia kenal sekalipun. Karena mereka pernah susah.

Aku menelusupkan wajahku dan memikirkan perkataan ibuku dua minggu berturut-turut. Tentang anak laki-laki yang ditemuinya ketika dia sedang menjaga kedai. Aku pernah mendengar nama itu sekilas. Bontang. Memang menjadi suatu kebiasaan ketika desa kami dan yang mungkin desa yang lainnya akan memanggil orang dengan nama jeleknya, entahlah siapa pencetus nama itu.

Namaku Komang Ayu. Ngga cuma itu sih, tapi panjang lagi. Komang adalah nama orang Bali, yang artinya anak ketiga. Setiap anak harus isi nama Balinya. Contohnya jika kalian anak pertama, maka nama depan kalian adalah Gede (cowok), Wayan (cewek/cowok), Nengah (cewek/cowok), Putu (cewek/cowok) dan lainnya. Kalau anak kedua nama depannya adalah Kadek atau Made. Kalau anak ketiga, Komang atau Nyoman. Kalau anak keempat namanya Ketut.

Sebelum nama itu, di Bali biasanya menyisipkan nama lagi, yang akan membedakan bahwa ini anak laki-laki dan ini anak perempuan. Nama itu adalah I dan Ni. Kalau I untuk anak laki-laki, dan Ni untuk anak perempuan. Contohnya adikku; I Ketut Wawan Sastrawan Sugania. See? Dia anak laki-laki yang keempat. Contohnya lagi namaku, Ni Komang Ayu Leonita Dewi; anak perempuan yang ketiga.

Kukira sudah lengkap penjelasanku. Nama jelekku? Entahlah, mungkin aku tidak punya, tidak ada yang pernah menamaiku, karna aku anak baik. Lupakan!

Kembali lagi ke Dek Bontang. Itu artinya dia me-Kadek. Itu artinya dia anak kedua. Hm, okelah-okelah. Sejujurnya, aku memang tidak tahu siapa dia, dan sebenarnya aku cukup kenal dengan adiknya. Adiknya sering kemari, dan aku baru tahu kalau dia adalah adiknya Dek Bontang. Namanya Japar, dia cukup seperti kebanyakkan anak laki-laki lainnya. Keluar sekolah maka ia akan pergi entah kemana, dan baru pulang saat senja, kemudian mandi dan keluyuran kembali hingga larut malam. Itu biasa untuk anak laki-laki. Tentu saja tidak untuk anak perempuan.

"Sudah?" tanyaku dengan nada manis ketika seorang remaja berusiaku menyerahkan padaku belanjaannya. Ia kemudian tersenyum manis padaku. Setelah aku selesai, aku kembali menelusupkan wajahku, berharap aku akan bertambah cantik dengan ini.

Kemudian, tiga orang pemuda datang dan masuk. Ketiganya menoleh ke arahku sejenak, salah satunya menatapku lama dengan senyuman di wajahnya. Oke, yang menatapku itu sangat manis. Alisnya tebal dan bibirnya merah alami. Tidak mungkin kan laki-laki memakai lipstick atau semacamnya?

Laki-laki yang menatapku itu segera menemui kedua temannya dan mulai berbincang tentang apa yang mereka temui di sudut toko ini. Aku melihat dari CCTV, laki-laki yang menatapku itu banyak tersenyum menanggapi temannya. Ouch, tipe laki-laki ceria, ya? Bukan tipeku kalau begitu. Tipeku adalah laki-laki kaku dan dingin.

Tunggu, aku memperhatikan laki-laki yang menatapku, ya? Kenapa tiba-tiba aku yakin kalau dia Dek Bontang? Wow, sepertinya otakku benar-benar bermasalah.

"Dek, katanya lo mau beli CD kosong?" (Dek, kone ci kel meli CD kosong?) [Dia menggunakan bahasa Bali pada saat itu.]

Aku melihat dari CCTV, dan suara itu tentu saja terdengar olehku. Laki-laki yang menatapku tadi itu menggedikkan bahunya seraya tersenyum. Laki-laki yang bertanya pada laki-laki yang menatapku tadi itu melongokkan kepalanya.

Love Needs Time Now Or NeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang