"Apa yang kamu harapkan dari seorang yang ingin mati? Semangat dan harapan hidup saja tidak punya. Lalu, apalagi sesuatu yang kamu harapkan?" Namun, sepertinya hal itu ditepis oleh Toru. Dia percaya kalau dia akan membuat sahabatnya, Taka kembali seperti sedia kala.
Sejak sebulan lalu, persahabatan Toru, Taka, Tomoya dan Ryota hancur setelah mereka mempermasalahkan kesalahan mereka saat pentas seni sekolah. Hal yang membuat masalah ini menjadi semakin parah adalah kenyataan bahwa mereka berusaha saling menghindar. Sepertinya pentas seni itu telah menjadi kutukan bagi empat sahabat yang didaulat untuk menjadi band utamanya ini. Sepertinya, penyesalan pun tidak usah dibahas lagi.
Toru terdiam sejenak setelah mendengar suara desahan dalam toilet putra di sekolahnya. Sepertinya itu suara desahan seseorang yang kesakitan. Secepat mungkin, ia masuk ke dalam toilet. Ia menuju ke bilik paling ujung, yang merupakan satu-satunya bilik kamar mandi yang pintunya terkunci. Karena penasaran, ia menengok ke bawah pintu bilik yang memiliki celah cukup lebar. Ada darah, tercecer dan masih ada yang menetes.
"Siapapun kamu, jangan paksa aku keluar dari sini!" Terdengar suara yang sedikit lirih dari dalam bilik itu. Sepertinya Toru mengenal suara itu, dan tahu siapa pemiliknya.
"Taka?" Toru pun mulai panik, "Apa yang terjadi denganmu?"
"DIAM!" Itu memang suara milik Taka, sahabatnya. Kini ia berteriak.Tanpa basa-basi, Toru langsung mendobrak pintu bilik kamar mandi itu dengan kekuatan penuh hingga terbuka. Ia pun menemukan Taka duduk diatas kloset tertutup, dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya yang masih meneteskan darah.
"Aku harus terbiasa! Aku harus terbiasa!" bisik Taka untuk dirinya sendiri.
"Apa yang kamu lakukan?" Toru mulai bertanya. Ia menemukan sebilah silet di atas lantai, lalu membuangnya. Silet itu yang digunakan Taka untuk menyayati pergelangan tangannya.
Suasana pun berubah menjadi hening karena Toru terpaku, dan tidak tahu harus berbuat apa. Ia terkejut karena salah satu sahabatnya melakukan hal ini. Baginya, Taka tidak pantas berbuat demikian.
Setelah tahu harus berbuat apa, Toru pun membawa Taka ke ruang kesehatan sekolah supaya lukanya ditangani. Karena Taka menyayat pergelangan tangan kirinya, dan darah pun sulit dihentikan sehingga ia harus dilarikan ke rumah sakit. Setelah selesai ditangani di rumah sakit, Taka pun tak sadarkan diri karena kehilangan banyak darah. Untungnya, persediaan darah di rumah sakit itu masih lengkap, dan masalah pun dapat diatasi.
Beberapa saat kemudian, Taka pun terbangun. Ia terkejut karena Toru berada disampingnya.
"Kamu sudah bangun?" Toru kini memperlihatkan senyuman langkanya kepada salah satu sahabatnya itu, "Syukurlah."
"Kenapa kamu mau capek-capek ngurusin aku?"
"Apa? Kamu nggak suka?"
Taka pun memalingkan wajahnya dari Toru.
"Baiklah. Aku tahu apa yang kamu rasakan."
"Cih! Nggak ada yang tahu apa yang aku rasakan."
"Terserah," Toru pun beranjak pergi, "Oh iya, ayahmu sebentar lagi sampai. Jangan macam-macam!"
"Cih!"
Dua hari setelah kejadian percobaan bunuh diri itu, Taka kembali ke sekolah dan mengikuti pelajaran di kelas seperti biasa. Akan tetapi, ada yang berbeda darinya. Sekarang ia lebih pendiam, dan terlihat aneh dengan hoodienya. Ia terlihat kurus dan pucat tanpa semangat. Toru yang menyadari perbedaan ciri sahabatnya itu memilih diam untuk sementara waktu.
Pada jam istirahat, Toru membiarkan Taka tetap di kelas dan mencoba mencari Tomoya yang merupakan sahabat sekaligus kakak kelasnya itu, untuk menanyakan apa yang ia lakukan kepada Taka hingga ia menjadi seperti ini.
Toru pun menemukan Tomoya sedang berada di kantin sekolah bersama teman-teman sekelasnya. Ia mencurigai kakak kelasnya itu. Menurutnya, Tomoya pasti berperan besar dalam perubahan Taka kali ini. Dengan penuh emosi, Toru menanyakan hal tersebut kepada Tomoya hingga akhirnya ia angkat bicara.
***
Sebulan lalu, hanyalah sebuah waktu yang tak berarti jika tidak ada apapun yang menjadi ganjalan dalam ingatan kita. Akan tetapi, itu adalah suatu waktu yang penting untuk diingat oleh Toru, Taka, Tomoya dan Ryota. Setelah tampil di atas panggung pentas seni sekolah, mereka terlibat dalam pertengkaran.
Semuanya berawal dari terlalu padatnya jadwal latihan mereka dan mengakibatkan Taka, sang vokalis kelelahan dan tidak bisa mencapai nada tinggi ketika bernyanyi bahkan ia sering lepas dari tempo. Selain itu, ia merupakan orang yang sering terlambat tanpa alasan yang jelas. Masalah itu juga ditambah dengan keinginan mereka yang berbeda dalam menentukan lagu. Perselisihan pun tidak terhindarkan hingga pada saat pentas, penampilan mereka kurang maksimal. Hal tersebut membuat Tomoya marah. Sebagai yang tertua dan akan lulus, ia tidak terima. Ia merasa bahwa penampilan band ini adalah penampilannya yang pertama dan terakhir sebagai seorang siswa SMA meskipun selama ini dia sering tampil di luar sekolahnya. Ini adalah kesempatannya untuk tenar meskipun terlambat. Penampilan band yang kurang maksimal itu membuatnya emosi dan meninggalkan tiga sahabatnya.
Suatu ketika, Tomoya menyeret Taka yang sedang berjalan pulang ke rumahnya. Ia membawa Taka ke sebuah gang sepi dan memojokkannya.
"Apa maksudmu? Dari awal aku nggak pernah percaya sama kamu. Dasar tikus!" Tomoya membentak Taka sambil menggencet tubuhnya ke dinding.
Taka hanya diam, dan tidak memberikan perlawanan apapun. Ia malah memalingkan mukanya dari Tomoya tanpa reaksi berlebihan.
"Dasar bodoh!" Emosi Tomoya pun meledak, dan ia memukul perut Taka sekeras-kerasnya hingga air keluar dari mulutnya. Kali ini Tomoya bertindak kejam kepada salah satu (mantan) sahabatnya. Amarahnya memang sudah tidak terbendung lagi, ia pun mulai menggenggam leher Taka, dan hendak mencekiknya.
"Kamu ini... Aku tahu kamu nggak bisa nyanyi! Sok banget mau jadi vokalis. Tapi nyatanya apa? GAGAL! Kamu GAGAL!" Kata Tomoya sambil mengencangkan genggaman tangannya di leher Taka.
Taka tetap diam walau wajahnya menunjukkan ekspresi kesakitan, perasaan sakit yang luar biasa bagi tubuh kurusnya. Akan tetapi, ia berusaha mengambil sesuatu dari kantung celananya. Sebilah belati, yang terlihat sangat tajam, dan bisa menembus apapun dengan mudah.
"Kamu mau membunuhku?" dengan suara lirih, kini Taka mulai angkat bicara. "Ambil ini, dan tusukkan ke manapun yang kamu mau! Aku tidak akan mempermasalahkannya."
DEG! Kali ini Tomoya merasa seperti tertampar berkali-kali di wajahnya. "A-apa?" "Sudahlah! Bunuh saja tikus ini! Percuma kalau aku harus hidup." Kini ekspresi Taka berubah menjadi dingin.
Tomoya pun mengambil belati itu dan memasukkannya ke dalam tasnya, lalu melepaskan genggaman tangannya dari leher Taka. "Akan kubunuh, nanti," kata Tomoya lalu meninggalkan Taka sendirian di tempat itu.
Setelah kejadian itu, mereka tidak pernah saling bertatapan muka terlebih karena Tomoya yang malu akan sikapnya. Ia ingat persahabatannya dengan tiga orang sahabatnya itu sudah berjalan sejak mereka masih kecil. Persahabatan yang dulu begitu indah itu sekarang sudah hancur karena sikapnya dibalik kenyataan bahwa ia adalah yang tertua diantara mereka.
***
Setelah mengetahui kisah itu, Toru semakin emosi dan ingin memukul Tomoya. Akan tetapi, ketika tangannya yang mengepal akan mendarat di wajah Tomoya, sesuatu datang dan menghalanginya."Cukup! Apa maksud kalian?!" Ryota telah memegang erat tangan Toru yang hendak memukul Tomoya.
"Hei anak kecil! Apa urusanmu?" Tanya Tomoya dengan sinis.
Ryota pun hanya diam saja dan menundukkan kepalanya.
"Hei! Bicaralah!" Kini Toru membentak Ryota.
"Ehm. I-itu..."
"Apa?"
"Kakak... Ah! Taka. Tadi aku melihatnya menuju atap gedung," jawab Ryota.
"Apa?" Kali ini Toru langsung berlari untuk menuju atap gedung sekolah mereka yang memiliki lima lantai. Ia tidak ingin Taka berbuat bodoh lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lullaby (a One Ok Rock Fanfiction)
FanfictionAku hanya ingin tidur. Tidur, dan melupakan rasa sakit ini.