Ch. 2 - Same person?

9.1K 824 21
                                    

Popi, jika kau benar berada di tahun 2015, kau pasti kaget dengan buku ini.
---

Dengan cepat, Toni menulis di bawah tulisan tersebut.

---
Apa kau benar-benar berada di tahun 2020?
---
Ya, tentu. Apa kau pernah lihat catatanku? Aku takkan heran jika kau tidak memahaminya, sebab beberapa di antaranya tidak ada di masamu. Beberapa ilmu itu baru ditemukan di tahun 2018.
---

Toni menganggukkan kepalanya. "Pantas saja, aku tidak pernah mendengar istilah 'trees structure' yang ia tulis dalam catatannya."

Tiba-tiba ponsel Toni berdering untuk beberapa saat. Tapi dia tidak mengubrisnya. Aku menatap pria yang masih melihat ke arah buku itu. "Tidak kau angkat?"

Toni hanya menggeleng dan tetap mencoba fokus pada buku itu. Namun ponselnya terus berbunyi.

Aku mengambil tas Toni dan merogoh isi tas tersebut. Kudapati ponsel dengan tulisan 'mama' pada layarnya. "Lebih baik kau angkat sebelum kau menyesal."

Pria berkulit putih itu berdecak dan merebut ponsel dari tanganku. Dia mengangkat ponselnya sambil berjalan keluar ruangan. Dari kejauhan kulihat pria itu berbicara di telepon sambil sesekali berjalan mondar-mandir berkacak pinggang seakan sedang kesal.
Ketika Toni masih di luar, tiba-tiba tulisan merah itu kembali muncul.

---
Kalau kuperhatikan, tulisanmu berbeda sekali dengan pertamakali kita berkenalan. Kali ini jauh lebih rapi.
---

Gaya tulisan? Ucapku dalam hati. Aku lupa bahwa buku ini ditulis seluruhnya secara manual, sehingga akan terlihat berbeda tulisan satu dengan lainnya. Aku menjadi gugup. Apa yang harus kukatakan? Apakah aku harus mengatakan yang sebenarnya, atau berpura-pura sebagai Nenek Popi?

Toni kembali dari percakapannya di ponsel. Langkah kakinya terlihat seakan-akan dikejar sesuatu. Ia merebut pena dari tanganku dan memasukkannya ke dalam tas. "Pakai penamu sendiri saja," suruhnya dan bergegas ke pintu keluar. "Aku duluan ya, kalau ada cerita menarik ceritakan padaku, bye."

"Bye.. salam untuk ibumu!" Seru ku pada pria yang sudah menjauh itu. Pria itu menjawabnya dengan jemari yang melingkar mengisyaratkan 'ok'. Aku bisa melihat punggungnya yang tegap dari kejauhan, menaiki sebuah motor sporty dan pergi. "Kau pria yang baik, Toni," bisikku sambil tersenyum.

Aku melihat jam tanganku dan buku itu bergantian. "Sudah pukul tujuh, kurasa aku juga harus kembali. Akan kujawab ketika sudah sampai di rumah saja," gumamku pada diri sendiri. Aku menutup buku itu dan memasukkannya ke dalam tas dan berjalan keluar ruangan.

Karena uangku mulai menipis, aku nemutuskan untuk pulang menggunakan angkutan umum.

Beberapa menit setelah naik angkutan umum, aku sampai di stasiun kereta api. Seperti biasa, stasiun kereta di jam-jam pulang kantor ramai dengan penumpang.

Book From 2020Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang