01

69 6 0
                                    

Oke, besok hari pertama MOS.

Otakku mencoba mengingat apa yang diperlukan untuk kegiatan MOS besok.

"Bagi cewek, rambut diiket pake pita, minimal 6 kunciran. Trus pake tas yang dibuat dari karton dan tali. Kaos kaki juga, sebelah merah dan sebelah putih. Biar Indonesia banget. Dan terakhir, bawa coklat"

Itulah kira-kira yang harus disiapkan.

Menyebalkan ya.

Kupikir tak ada gunanya mengeluh, toh mengeluh tak akan menyelesaikan masalah. Jadi kuputuskan untuk mempersiapkan semua.

Tak terasa semua barang-barang diatas hampir selesai kupersiapkan, hanya tinggal mengambil coklat.

Aku melangkah menuju meja belajar dan membuka lacinya, berniat mengambil coklat yang kusimpan disana. Namun sesuatu telah mengalihkan perhatianku dari coklat itu.

Ya, sebuah pulpen.

Hanya pulpen? Ya. Hanya pulpen tapi bagiku itu adalah benda yang spesial, karena itu adalah pulpen milik Varel.

Begitu konyolnya aku. Tapi inilah yang namanya cinta, bahkan hal konyol pun bisa membuat senang.

Pulpen ini dia berikan padaku di hari terakhir pertemuan kita, karena aku yang meminta sesuatu darinya sebagai kenang-kenangan dan dia memberikan pulpen itu karena hanya itu yang ia bawa.

Usai menatap pulpen itu selama beberapa saat, ku ambil pulpen itu dan kusimpan di dalam tasku. Akan kubawa pulpen itu ke sekolah.

Tak lupa kuambil coklat dan kusimpan bersama barang-barang lainnya untuk keperluan besok.

Tak terasa siang berganti malam. Pukul 21.00 aku sudah berbaring di kasur sambil menatap langit-langit kamarku yang sedikit gelap.

Sepertinya asik jika aku duduk di balkon sambil menikmati angin malam.

Aku beranjak dari kasur dan menuju ke balkon kamarku yang luas.

Ketika pintu dibuka, angin langsung menerpa wajahku dan membuat rambutku beterbangan. Aku tak mempedulikan rambutku yang berantakan akibat terpaan angin itu.

Aku melangkah menuju bangku dan duduk disana.

Angin malam sungguh menenangkan. Entah mengapa aku menyukai keadaan seperti ini, duduk di balkon.

Kunikmati angin yang mengenai wajah dan tubuhku. Cukup dingin tapi itu bukan masalah.

Aku merenung teringat pria itu, Varel.

Bayangan wajahnya memenuhi kepalaku, otakku berputar teringat hari itu. Hari perpisahan kami. Pelukan hangatnya masih terasa. Senyumnya padaku hari itu, teringat terus di kepalaku. Seakan itu baru terjadi beberapa menit lalu.

Waktu seperti berputar kembali ke hari itu.

Aku merindukannya, merindukan Varel. Cinta pertamaku.

Seandainya dia tidak bersikap dingin selama kita kenal dulu.
Seandainya dia bersahabat denganku dulu.
Seandainya dia membalas perasaanku, sedikit saja.
Maka semua akan sangat berbeda dengan kenyataan saat ini.

Dadaku terasa sakit mengingat semua.

Mengapa baru sekarang aku merasa sakit hati?

Dulu ketika dia bersikap dingin padaku, rasa sakitnya tak seperti ini.

Rasa sakit ini terasa berbeda. Terasa begitu dalam.

Aku ingin bertemu dengannya...

Tapi kurasa itu akan sulit, aku tak tau apapun tentangnya. Aku tak punya kontaknya sama sekali.

Memikirkan itu semua membuatku makin bersedih.

Apa takdir akan mempertemukanku dengannya? Apa takdir akan memberiku kesempatan untuk bertemu dengannya lagi?

Pandanganku menjadi kabur, disusul dengan jatuhnya air dari mataku. Aku menangis. Kali pertamaku menangis karena seorang pria.

Inikah yang dinamakan kesedihan akibat cinta?
Apa seperti ini rasanya cinta bertepuk sebelah tangan?
Apa rasanya sesakit ini?

* * *

Pagi ini pukul 06.00 aku sudah siap berangkat sekolah, karena jarak antara rumah dan sekolahku yang cukup jauh.

Sebelum berangkat, aku melangkah menuju kamar mama.

Dia masih terbaring, tidur dengan nyenyak dengan suara mesin pembaca detak jantung disampingnya. Posisi tidurnya tidak berubah sejak tiga bulan lalu. Mungkin dia terjebak di alam mimpinya sehingga ia lupa untuk kembali.

Apa yang sebenarnya dimimpikannya hingga ia lupa untuk kembali padaku? Apa begitu indah mimpinya hingga membuat dia lupa pada alam nyatanya?

Aku melangkah menuju ranjang tempat mama tertidur. Detak jantungnya teratur, namun matanya tetap terpejam.

Dulu mata itu selalu menyipit karena senyumannya. Senyuman yang ia berikan padaku...

Kugenggam tangannya erat dan membisikkan sesuatu di telinganya.
"Ma, jangan lupa untuk bangun, ingat masih ada Sandra disini"

Itulah kata-kata yang selalu kuucapkan di telinga mama setiap hari. Berharap ia akan mendengarnya.

Usai menjenguk mama di kamarnya, aku berangkat ke sekolah menggunakan mobil yang diberikan tanteku kepadaku dan mama.

Sekolah terlihat ramai oleh murid-murid yang berpakaian putih biru dan berpenampilan aneh, sama sepertiku.

Lapangan sekolah yang luas ini dipenuhi oleh murid kelas sepuluh. Masing-masing dari mereka terlihat berkumpul membentuk sebuah kelompok dan mengobrol ria. Mungkin mereka satu sekolah dulunya.

Aku meneruskan langkahku diantara kerumunan ini. Tak lama aku melihat sebuah kerumunan murid berseragam putih biru yang semua wajahnya kukenali.

Ya, itu teman-teman SMP ku.

Tapi aku tak berniat untung bergabung dengan mereka. Aku hanya berdiri dan mengamati keseluruhan sekolah ini.

Sekolah yang bagus, tapi akan lebih bagus jika ada tempat rahasia yang hanya diketahui olehku. Tempat yang kudatangi jika aku sedang bosan atau kacau.

Kuharap ada tempat seperti itu disini.

Beberapa menit setelah aku melihat-lihat bangunan sekolah ini, bel berbunyi.

Murid-murid baru terlihat berdiri membentuk barisan di lapangan. Termasuk aku.

Okay, kurasa semuanya sudah harus siap menerima setiap kekonyolan dan kekesalan yang muncul dari kegiatan MOS ini.

* * *

Pukul 14.00 bel berbunyi lagi, tanda pulang sekaligus tanda berakhirnya penderitaan hari ini.

Terlihat semua murid berhamburan keluar dari kelas masing-masing menuju pintu gerbang, ada juga yang menuju ke perpustakaan, kantin dan lapangan.

Aku memilih untuk berkeliling sekolah ini, berniat mencari tempat yang bagus untukku jika aku sedang ingin menyendiri, bisa dibilang tempat rahasiaku di sekolah ini.

Setiap gedung ku telusuri, semua tempat terpojok ku datangi, bahkan atap gedung pun sudah ku datangi tapi aku tak menemukan tempat yang bagus.

Apa sekolah ini memang tak punya tempat sepi seperti sekolah-sekolah lainnya? Atau aku yang belum menemukannya?

Aku terduduk disini, di atap gedung tertinggi sekolah ini, menikmati angin yang berhembus kencang.

Mataku terpejam untuk beberapa saat, hingga terdengar sebuah suara dari belakangku,
"Hey"

Suara itu membuatku terkejut,
Siapa dia?

* * *

dark_amors,
02/01/2016

Vaniara CassandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang