11

118 5 5
                                    

Perkataan Rayi yang singkat itu sukses ngebuat kelas jadi hening. Untungnya keheningan langsung pecah pas Dimas baru dateng dan masuk sambil teriak. "RAI, GUE MAU PINDAH KE ITALIA DONG!"

Begitu ngeliat suasana kelas yang sepi, dia langsung bingung dan masang watados. "Loh? Kok pada diem gini?"

Sekelas, kecuali Rayi, Atha, dan gue, langsung nimpukin Dimas pake gumpalan kertas. "MERUSAK SUASANA AJA LO, DIM! SHOO-SHOO!"

"Ish, gue kan baru dateng. Masa langsung ditimpukin gini, sih?!" Dimas membela diri masih dengan watadosnya.

Raihan langsung menoleh ke Dimas. "Lo serius mau pindah ke sana, Dim?"

Yang ditanya langsung nyengir. "Iya. Lo jangan kangen ya sama gue, Rai. Oh ya, untungnya anak temen bokap gue juga ikut, lumayan ada temen di sana."

"Anaknya cewek atau cowok?" tanya Raihan.

"Gue gatau. Tapi semoga aja cowok," jawab Dimas enteng.

Raihan langsung menoyor kepalanya. "Halah. Dalem hati juga maunya cewek kan lo."

Dimas bersidekap. "Enak aja. Anyway, tadi pas gue masuk kenapa pada diem, deh? Ada tontonan gratis apaan? Lo sama Aggy ribut lagi? Bukannya itu udah biasa, ya?" Tanya Dimas bertubi-tubi.

Raihan diem. Yang jawab malah anak lain. "Tadi, Raihan sama Aggy tumben-tumbenan ngga debat, tapi semacam ngadu gombal gitu. Terus Atha nyeletuk 'jangan pacaran di kelas.' Then, Raihan ngebales 'kalo cemburu bilang.' Gitu deh ceritanya," ujar Vina polos.

Spontan gue, Rayi, dan Atha melotot. Dimas senyum jail ke kita bertiga. "Ini semacam cinta segitiga gitu, ya?"

"BUKAN!" teriak gue dan Rayi barengan.

"Ih, ngapain ngikutin, sih?" tanyanya dan gue barengan (lagi).

"Stop! Tuh, udah bel. Duduk sana di tempat masing-masing. Jangan berantem lagi lo berdua. Pusing gue dengernya," kata Dimas.

"Siap Pak Guru!" seru sekelas serempak.

Dimas memandang kami semua sinis, "Gue bukan Bapak Guru lo pada, ya!"

***

Sepulang sekolah, gue gak ke kafe seperti jadwal sehari-hari gue yang biasanya. Kaki gue melangkah ke taman yang ada di deket rumah. Di sana, seperti taman kebanyakan, banyak anak kecil yang lagi bermain-main dengan riangnya. Ada juga beberapa pasangan muda-mudi yang sedang mengobrol, entah ngobrolin apa.

Gue melihat ke atas dan mendapati langit yang enggak seterang tadi siang. Awan-awan berarak, burung-burung gereja hinggap di dahan pohon yang cukup tinggi maupun yang rendah, matahari pun mulai bisa dilihat dengan mata telanjang.

Tiba-tiba gue merasa tempat kosong di sebelah gue diduduki oleh seseorang. Dan saat gue menoleh, terlihatlah wajah Raihan dari samping yang menurut gue gak jelek-jelek amat. Hidungnya mancung, bibir tipis, dan belum lagi garis rahangnya yang tegas. Merasa diperhatikan, akhirnya Rayi ikut menoleh dan menatap gue tepat di manik mata.

Nafas gue tercekat. Seolah terhipnotis, mata gue gak bisa berpaling. Rasanya seperti terpaku pada mata coklat terang milik Rayi. Gue baru sadar matanya indah. Wajah Raihan perlahan maju. Ya ampun, ini kenapa jantung gue berdegup lumayan cepet ya.

Setelah otak gue mencerna kejadian saat ini dan kemungkinan yang bakal terjadi selanjutnya, gue langsung berpaling dengan amat terpaksa. Bisa gue rasakan, Raihan juga kaget seakan baru menyadari sesuatu. Dia langsung menyenderkan punggungnya ke sandaran di bangku taman.

"Maaf, Ra."

Gue menghela nafas sepelan mungkin dan ikut menyenderkan punggung ke sandaran bangku taman, berusaha menormalkan degup jantung gue. Lalu gue dengan bodohnya, tertawa. Iya, tertawa. Entah mentertawakan apaan karena gue sendiri juga bingung. Merasa Raihan memperhatikan gue dengan pandangan penuh tanya, akhirnya gue mengatakan, "Santai aja, Raihan."

Tapi gue masih bingung, sebenernya dia minta maaf buat apa?

"Rai," panggil gue.

"Apa?"

"Tadi lo minta maaf buat apaan?" tanya gue heran.

Raihan spontan langsung menjitak kepala gue pelan. "Kalo lo gatau, ngapain tadi bilang 'santai aja, Raihan' . Dasar aneh," ujarnya sambil meniru mimik gue tadi.

Gue cemberut lalu mencubit lengan Raihan kencang, berbanding terbalik dengan cara Raihan menjitak kepala gue tadi. "Gaya bicara gue gak seaneh itu!" sanggah gue masih mencubit lengan dia.

Di sebelah gue, Raihan memasang wajah tersiksanya sambil mengaduh kesakitan. "Ya Allah, Kinara! Tangan gue bisa-bisa biru lo cubit kayak begini. Mau gue aduin ke Mama lo, ha?" ancamnya.

Gue menaikkan sebelah alis lalu tersenyum sinis. "Berani? Mau gue aduin juga ke Mama lo kalo tadi di sekolah lo nyaris buat jidat gue benjol, ha?"

"Tapi, kan, nyatanya gak benjol, Ra! Ini kalo gue beneran biru, Ya Allah, dosa apa gue ketemu orang kayak lo yang cubitannya sakit banget!" jerit Raihan saat gue menambah kekuatan cubitan gue.

Tawa gue nggak bisa dibendung lagi! Karena prihatin dengan kondisinya, akhirnya gue melepaskan cubitan maut seorang Kinara. Tapi gue masih tertawa terbahak-bahak. Soalnya, muka si Raihan itu lho, priceless abis!

Raihan mengusap-usap lengannya lalu menaikkan lengan kemejanya. "Liat nih, Ra, hasil perbuatan kejam lo terhadap gue!" ujarnya dramatis sambil menunjukkan bekas-bekas cubitan gue yang bertanda merah di lengannya ke gue.

Mau gak mau gue pun tersenyum penuh kemenangan. "Rasanya gimana?"

"Manis, kayak wajahmu," ujar Raihan pelan seraya meniup-niup lengannya.

Gue merasa pipi gue memanas. Dengan cepat gue menonjok pelan lengannya, tepat di bagian yang sedang ditiupnya. "Gombalan lo gak mutu."

"Ra, sakit!" serunya sambil melotot. "Buset dah, lo cewek tapi tenaga kayak kuli."

"Ih, lebay! Dasar drama king."

"Iya. Kan, lo queen-nya."


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 31, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TrickyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang