#2 Senyum Gula Aren

325 25 8
                                    

          "Kiya ruangan 24, dikelas 12 IPA 4."

          Kiya mengacungkan jempolnya mendengar ucapan Mela yang berpapasan dengannya saat ingin ke lantai 3, lantai ruang ujiannya berada.

          Hari ini adalah hari pertama Ujian Akhir Semester Ganjil. Kiya menapaki anak tangga sambil terpekur memikirkan "kenapa harus ruangan24 lagi? Apa bakal satu ruangan sama dia lagi?"

          Dia, sang pemilik senyum gula aren--menurut Kiya-- memang sudah Kiya kenal sejak 3 bulan lalu. Tepatnya saat hari pertama Ujian Tengah Semester Ganjil. Sejak saat itulah keduanya menjadi cukup akrab bahkan 'nyaris' memiliki hubungan khusus.

          Sesampainya di lantai 3, Kiya berjalan kearah kanan sebelah tangga. Dikoridor lantai 3 penuh sesak diisi para siswa yang entah sedang membaca, berdisukusi–-atau bisa dibilang ngerumpi, dan beberapa kakak kelas yang menggoda adik kelas yang sekedar lewat. Memang saat UAS semua kelas dikunci dan akan dibuka setelah bel masuk.

          Kiya menatap deretan kakak kelas yang biasanya akan ada dia diantara mereka. Tetapi sayangnya dia belum terlihat sedikitpun.

          "Ehem!"Kiya terlonjak kaget mendengar deheman keras dari sampingnya.

          "Apaan, sih lo!" Kiya mengusap dadanya untuk menetralkan debaran jantungnya yang baru saja dilatih untuk bekerja 2 kali lipat karena ulah Mada. Gue kira si doi, batin Kiya merengut.

          "Engga ada," Mada menggelengkan kepalanya. Kiya mengenyit heran.

Nih anak mau sekolah apa enggak sih?

          Tampilan Mada memang sangat mencolok diantara semua kerumunan anak-anak disekolah ini. Rambut yang berantakan, seragam yang tak pernah rapi, dan juga dasi yang tak pernah disimpul tetapi semuanya terkesan cool dan manis diwaktu bersamaan. Belum lagi ketika bibir itu tertarik membentuk smirk atau senyum tipis, uh.. sungguh sangat menawan ketika pipinya menampilkan bolongan kecil disebelah kanan pipinya. Ya, Mada mempunyai lesung pipi.

          "Udah bel noh, masuk!"

Mada mendorong bahu Kiya cukup kuat dan hampir saja tubuh Kiya menabrak pintu kelas namun sepasang tangan menahan bahunya. Kiya menoleh melihat pemilik tangan yang menjadi penyelamat dahinya tidak membentur pintu. Seketika riuh terdengar dikoridor lantai 3. Sorak sorai dan berbagai ledekan terdengar ditelinga Kiya yang mulai memanas.

          "Nggak apa-apa?" Kiya mengerjap kaget ketika suara pelan itu mampir ke telinganya diantara beberapa ledekan yang ramai terdengar. Dan senyum itu!

          "I-iya,Kak, makasih."

          Kiya kembali berdiri tegak dan menutup wajahnya dengan telapak tangannya ketika memasuki kelas. Seisi kelas tersenyum jahil kepadanya. Tetapi tidak dengan seorang pemuda diujung kelas sebelah kiri. Dia mengepalkan tangannya kuat-kuat dibawah meja.

          ---

           

          "Dede Kiya! Apa kabar?"

        "Astaghfirullah! Kak Mario bikin kaget," Mario tertawa kecil melihat muka Kiya yang sedikit merah padam ketika teman akrabnya duduk dihadapan Kiya.

          "Udah makan?" tanya teman akrab Mario.

          "Um..udah, Kak." Kiya menunduk kembali membaca buku Kimia-nya.

          Mario menyoraki Kiya kemudian berkata, "Yoan nanya dijawab, lah gue dikacangin. Da aku mah apa atuhlah, Cuma sepotong lengkoas diantara daging rendang," Mario berucap dramatis membuat beberapa orang tertawa terbahak mendengarnya.

          "Alay-nya kumat ih," ucap Mela yang mendengar ocehan Mario tadi. "Jijik."

          "Eh suka-suka gue ya, mulut-mulut gue ini. Sewot aja lo, Nenek Gayung!" Mario melemparkan segumpalan tisu yang sudah dia remas berbentuk bulat.

          "Lo tuh gorila!"

          "Apaan, sih, itu mah lo!"

          "Dih kok gue sih? Lo kali!"

          Kiya memutar bola matanya malas sementara Yoan mengehela napas pasrah. Selalu seperti ini jika keduanya bertemu. Padahal keduanya sama-sama saling suka dan mereka berdua tau bahwa rasa mereka saling terbalaskan. Tetapi, mereka tidak menjalin hubungan khusus. Kenapa? Karena keduanya berjanji untuk tidak berpacaran sebelum dapat mandiri dengan bekerja yang mapan.

          "Kiya?" Kiya menolehkan kepalanya kearah Yoan. Menghiraukan dua orang yang masih tetap beradu mulut tanpa henti itu.

          "Ya, Kak?"

          Yoan tersenyum tipis membuat kaki Kiya gemetar bukan main. "Love you."

          Kiya memalingkan wajahnya dan menutupnya dengan buku Kimia yang sedari tadi dia pegang. Tuhan, gue mau meleleh boleh gak?

Kiya berdeham meredam detak jantungnya yang tak karuan tetapi senyum manis terukir dibibirnya. Yoan tersenyum lebar hingga deretan giginya terlihat sambil mengusap tengkuknya. Dan senyum arem-arem Kak Yoan pun hadir.

          Mereka berdua memang sudah saling mengetahui perasaan masing-masing. Akan tetapi Yoan belum mau untuk menembak Kiya dan menjadikan Kiya pemilik hatinya.

          Kiya akan menunggu saatnya itu tiba. Dan dia akan bersabar untuk Yoan. Karena dalam hidupnya hanya ada Yoan yang dapat menarik perhatiannya, bahkan mengalihkan dunianya dan juga menjungkir balikkan hatinya. Tanpa Kiya tau, bisa saja Yoan menjungkir balikkan perasaannya juga. Menghancurkan semuanya saat hatinya tak dia jaga. Karena Yoan adalah tamu, dan Kiya adalah tuan rumah. Namun seorang tamu bukankah akan semakin leluasa jika sang tuan rumah membukanya lebar-lebar dan membiarkannya memiliki 'rumah' itu?

notes.

divomments buat kelanjutannya yap! hope u like it :v sorry buat typo(s). wattpad gini ya sekarang, suka gada spasi kalo dipost hem-_-

Big love,

likayla



Unattainable LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang