"Leviore ...."
Suara seorang gadis bergema dalam sebuah ruang hampa yang terasa sesak dan gelap.
"Leviore ...."
"Siapa kau?!" jerit Leviore sambil memutar-mutar badannya. Namun sepertinya percuma, karena disekelilingnya hanyalah hitam.
"Leviore ... aku di sini." Sesosok gadis bertudung hitam dengan jubah yang tidak kalah hitam tiba-tiba muncul diiringi dengan cahaya yang menyorotnya seperti lampu-lampu pentas.
"S-siapa kau?"
"Aku? Aku Stacia. Malaikat kematianmu," ujar gadis itu dingin dan datar.
"Aku pasti mimpi," ujar Leviore sambil menampar pipi kirinya, "aw! Ini bukan mimpi!"
Stacia mendengus melihat perlakuan gadis dihadapannya, kemudian berjalan mendekatinya. "Waktumu hampir habis. Bersiaplah ... untuk menghadapi kematian."
* * *
Suara petir menyambar-nyambar, hujan turun dengan lebatnya disertai angin kencang. Seorang gadis berseragam sekolah berlarian dengan cepat, tidak menghiraukan bajunya yang akan basah terkena hujan. Gadis itu menjinjing sebuah kantung plastik besar, yang isinya makanan selama seminggu. Kenapa ia membeli makanan? Well, ia tinggal sendirian sementara orangtuanya bekerja di luar negeri. Ia tinggal di rumah pemberian neneknya, dan menurutnya rumah itu masih cukup bagus walaupun sudah termakan usia.
Leviore, nama gadis itu. Ia berusia 15 tahun dan duduk di bangku kelas 1 SMA. Di kota Enpisi, ia bisa dengan mudah masuk di sekolah manapun karena ia pintar. Leviore mendapat sejumlah tawaran beasiswa dari berbagai sekolah di sana.
Leviore masuk ke dalam rumah tergesa-gesa dan menaruh belanjaannya di atas meja dapur. Kemudian ia langsung melesat mengambil handuk di kamar mandi yang berada di sisi kiri dapur dan mengeringkan tubuhnya. Lalu, ia duduk santai di ruang tamu dan menyetel televisi. Sayangnya, tidak ada siaran yang cukup bagus untuk ditonton.
-----
Hari berganti hari, kegiatan Leviore tetaplah sama. Selain pergi ke sekolah, pulang, menonton televisi, membersihkan rumah, kemudian belajar lalu tidur, tidak ada lagi kegiatan yang berarti. Leviore akhirnya menyibukkan dirinya dengan mondar-mandir di rumah. Ia membuka setiap pintu yang ada, kecuali pintu kamar neneknya.
Dan hari ini, ia memutuskan untuk membuka pintu itu. Leviore pernah diberitahu oleh ayahnya, kalau kamar itu berhantu. Hal itu sukses membuatnya bergidik ngeri setiap kali ia mengingatnya. Sekarang, ia berdiri di depan pintu keramat itu, menelan ludah kemudian menyeka keringat di dahinya. Tangannya meraih gagang pintu dan mendorongnya cepat.
"BOO!!" teriaknya keras. Namun tidak ada apa-apa di sana.
* * *
"Si-sia-siapa kam-kamu?!" pekik seorang pria. Pria itu melangkah mundur terus ke belakang. Gadis itu tersenyum miring. Stacia langsung menebas pria tadi dengan senjata yang ia genggam. Gadis itu menggerakan sedikit tangannya. Karena jaraknya dengan jurang sangatlah dekat, pria tadi berguling masuk ke dalam jurang. Orang-orang yang berlalu-lalang di daerah hutan dekat jurang itu melihat pria tadi berguling, dan dengan cepat mengerumuninya.
Ya, gadis itu adalah seorang Malaikat Kematian. Gadis itu melayang kembali ke sebuah hutan kecil yang cukup terpencil dari kota, membuka gerbang pintu menuju Mirror World atau Dunia Cermin dari kota Enpisi, tempat ia tinggal.
"Selamat datang kembali, Nona An. Stacia," sapa seorang gadis yang memiliki telinga kucing di kepalanya. Ia merupakan pelayan Stacia—Malaikat Kematian tadi—di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Enpisi Town: The City Beyond Imagination
Short StorySelamat datang di Kota Enpisi. Kota di mana keajaiban sering terjadi. Kota di mana kisah selalu diproduksi. Kota di mana ribuan kejadian menghiasi hari. Selamat datang di Kota Enpisi. Siapkah kalian berpetualang di dunia kami?