Chapter 2

243K 10.3K 158
                                    

"If this was a movie" part 2

Dia berbalik ketika melihatku berjalan melewati ranjang mendekatinya, tersenyum sambil menangis, "Emma, kau sudah pulang?"

"Iya, Selly, aku pulang dan membawa eskrim coklat kesukaanmu." Aku mendekat dengan hati-hati.

"Jangan mendekat, dear." Selena masih tersenyum dan menangis.

Aku berhenti mengendap-endap ke arahnya, "Oke, aku berhenti sekarang, tapi kau harus turun, oke?" Aku tersenyum membujuk.

Dia menggelengkan kepala, "Tidak Emma, ini menyakitkan, aku tidak bisa tanggung sendiri." Selena kemudian menangis keras.

"Tidak, Sel, jangan bodoh, kau belum mengatakan apapun padaku, apa yang terjadi padamu?" Aku mendekat lagi. "Ceritakan padaku, oke? Aku bersumpah akan membantumu."

Selena menatap ke bawah lama sekali, lalu terisak, "Aku-hamil, Ray bilang ini bukan anaknya, padahal aku tidak tidur dengan siapapun selama 1 bulan kecuali dengan dia." Gumamnya sedih.

"Hey ayolah," bisikku sambil terus mendekat, "Kita akan membesarkan anak itu, Sel, itu bukan hal yang buruk."

"Astaga!" Seseorang memekik.

Sialan!

Aku menengok, itu si anak kampus nakal yang tadi membawakan barang-barangku, dia masuk ke kamarku dengan langkah cepat.

"Nona, jangan lakukan itu, oke?" Dia mendekat ke Selena melewatiku.

"Jangan mendekat, atau aku akan lompat." Ucap Selena jadi panik.

"Jangan." Tukas cowok itu cepat-cepat lalu berhenti, "Apapun yang kau pikirkan jangan lakukan, oke?" Cowok itu menatap lekat-lekat mata Selena.

"Apa masalahnya?" Cowok itu berbisik padaku.

"Dia hamil, cowoknya tidak mau tanggung jawab." Bisikku juga.

"Begini Miss, aku punya seorang kakak perempuan, dia putus dengan pacarnya dan mencoba bunuh diri, sama sepertimu, bagian buruknya dia hamil, sementara dia miskin--"

"Aku tidak miskin," Selena meraung. "Aku seorang manager, bodoh! Dasar kau anak ingusan." Selena memukul-mukul tembok yang di dudukinya.

"Aduh, Bung, kembali ke apartementmu saja." Bisikku keras.

"Tidak, aku bisa tangani ini." Satu detik kemudian dia berlari, membuat Selena terkejut dan berteriak. Dia terjatuh dari balkon.

Tubuhku kebas, aku melotot, sementara cowok kuliahan itu sudah ada di tepi balkon dan terdengar jeritan.

"Tarik aku! Tarik aku!" Selena! Masih hidup!

Dengan gemetar aku mendekat, membantu si cowok itu menarik Selena. Sebenarnya dia bisa lakukan sendiri, hanya saja entah kenapa aku tahu harus menolong. Akhirnya Selena di tarik oleh cowok kuliahan itu melewati balkon dan mereka kehilangan keseimbangan saat cowok kuliahan itu menariknya. Mereka ambruk di lantai.

Ini kurang menegangkan, sejujurnya aku ingin sesuatu yang mendebarkan daripada Selena melompat dari balkon, kemudian aku terkekeh lega. Untungnya si rambut merah tolol ini masih hidup.

Selena sudah tidak menangis, wajahnya pucat, dan dia panik sekali, gaun tidur putihnya yang pendek terangkat celana dalamnya terangkat dan aku buru-buru menariknya berdiri. Kelegaanku sudah hilang bersamaan dengan menatapnya yang ketakutan.

"Hey, kau ini gila! Aku tidak mau kau lakukan itu lagi. Jangan seenaknya memutuskan, kita bisa membesarkan anakmu sama-sama." Aku melotot sambil mengguncang bahunya.

"Emma, sungguh, aku tidak akan bunuh diri kalau cowok itu tidak tiba-tiba lari ke arahku." Bahu Selena mengedik pada cowok kampus yang terkapar di lantai.

Aku menatap cowok tadi, lalu dia berdiri sambil membetulkan bajunya, "Untungnya ada aku disini." Dia bergumam.

"Eh, hei bocah, kalau saja kau tidak berlari, Selena takkan menghadapi kematiannya seperti tadi." Tukasku.

Wajah cowok itu memprotes; mengernyit, "Apa, tidak juga, dia memang berniat melakukannya, kan?" Dia melihat Selena sebentar.

Selena berbalik ke arahnya melipat tangan di dada, bagus, seseorang akan berakhir buruk kalau Selena sudah seperti itu bahkan aku.

"Nah, kau ini siapa?" Tanya Selena hampir membentak, "Aku takkan bunuh diri seperti kakak perempuanmu yang miskin, jadi kenapa kau dengan bodohnya berlari lalu membuatku terkejut?"

"Hei, Nona." Cowok itu jadi kesal, "Aku hanya berpikir kalau kau bunuh diri disini Nona berambut coklat itu akan jadi tersangka. Kau tidak kasian padanya? Membawa barang belanjaan miliknya sendiri saja hampir tidak bisa--"

"Tutup mulutmu!" Ucapku, "Kenapa tidak pergi dan tinggalkan kami?"

Matanya berkilat sebal, wajahnya juga jadi sebal, kemudian dia berbalik meninggalkan kamar, "Siapa juga yang punya kakak perempuan, aku kan anak tunggal." Dia komat-kamit pada dirinya sendiri.

Aku dan Selena melihat cowok itu sampai menghilang lalu Selena berbalik melihatku dengan mata sembabnya, "Mana eskrim nya?" Ucapnya.

Aku mengangkat alisku, benar-benar terlihat kesal padanya, "Aku akan membunuhmu kalau kau melakukan hal itu lagi--" wajahku jadi ngebos, "Dan apa kau pikir lucu nongkrong di atas balkon?"

Selena tersenyum lemah, "Ya, lucu juga, kurasa itu hobiku yang baru."

Aku melotot padanya.

Kemudian dia mengedip nakal dengan bersalah padaku lalu berjalan keluar kamar.

Satu jam yang lalu dia meraung-raung, sekarang kembali seperti gadis nakal pada umumnya, dia benar-benar labil dan harus di tolong. Ini seperti... di film. Ya, kalau saja ini di film.

StyleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang