Lorong sekolah tersebut begitu penuh, beberapa siswa berlarian dengan senang. Baju kelulusan berwarna biru yang melambangkan high school yang bangunannya berdiri dengan kokoh tersebut. Udara London yang dingin berhembus dengan keras seiring dengan berlarinya para siswa siswi yang tertawa. Semuanya terlihat begitu senang saat itu. Berpelukan dengan sahabat mereka, menyatakan perasaan yang telah mereka pendam kepada orang yang mereka sukai, serta beberapa bahkan menangis karena tahu akan perpisahan yang menunggu dihadapan mereka.
Namun berbeda dengan yang lainnya, salah seorang gadis di kerumunan tersebut menunjukkan ekspresi yang seratus persen berbeda dengan yang lainnya. Rambutnya yang pendek berwarna coklat terlihat berantakan, sementara airmata menuruni kedua sisi wajahnya. Sebuah tangan meraih dagunya dengan kuat, memaksa gadis bermata abu-abu itu untuk melihat ke arah pemilik tangan kekar tersebut. Mata abu-abu bertemu dengan sepasang mata biru pucat yang dingin, memandangnya dengan pandangan keras.
“Kurasa ini akhir dari pertemuan kita, nerd !” desis laki-laki bermata biru tersebut, matanya melihat dengan puas ketika gadis di genggamannya itu menggigil dengan takut, tubuhnya gemetar dengan waswas. Tawa terlepas dari beberapa laki-laki serta perempuan yang melihat kejadian tersebut, semuanya bahkan tak keberatan akan kenyataan bahwa gadis tersebut sedang dibunuh secara perlahan dengan setiap kata yang meluncur dari bibir sang penindas.
“Apakah kau akan merindukan pertemuan-pertemuan kecil kita?” ia bertanya kembali, jarinya mengencang di rahang si gadis, membuatnya merintih kesakitan karena memar di rahangnya yang terkena tekanan. Menahan airmatanya, gadis berambut pendek itu baru akan menjawab ketika sebuah tamparan keras mendarat di pipinya.
“Answer him, you slut !” lengkingan suara yang memuakkan terdengar dari penonton aksi mereka, tertawa ketika gadis itu menangis. Rintihannya semakin keras ketika wajahnya dilepaskan oleh si laki-laki, dan tubuhnya disiram oleh air dingin yang sungguh tidak cocok untuk udara dingin London yang saat ini sedang terjadi. Tubuhnya tertelungkup dengan cepat, gemetar karena rasa dingin yang mengalir.
Dilihat dari ekspresi gadis tersebut, ia sudah biasa menerima perlakuan seperti ini. Perlakuan yang mencabik harga dirinya, perlakuan yang ia sembunyikan dari kedua orangtuanya dengan sebuah senyuman terpaksa setiap ia ditanya mengenai keadaan sekolahnya. Perlakuan yang menyakiti tak hanya batinnya tetapi juga fisiknya. Ia tak pernah tahu apa kesalahannya, tetapi ia tahu bahwa hal ini telah berlangsung selama 3 tahun ia berada di sekolah tersebut. 3 tahun penuh kesengsaraan.
“Aww.. look she’s crying !”
“Pathetic ! Your pathetic Shella !”
“Look what we have here, a picture !” langkah sang laki-laki mendekat padanya dengan perlahan, tangan meraih foto yang terjatuh dari baju wisuda Shella. Begitu foto yang telah terambil itu diperlihatkan pada yang lainnya, tawa kembali merajalela di sekeliling mereka.
Tidak. Foto tersebut bukanlah sebuah foto memalukan atau sebuah foto mengenai suatu hal yang lucu. Gambar seorang gadis berambut merah dengan senyuman cerah tercetak jelas di foto tersebut, tubuhnya yang ramping dibalut oleh gaun krem yang indah. Tulisan ‘My Idol <3’ tertera di bagian depan foto tersebut. Foto tersebut adalah foto seorang model terkenal yang sudah mendunia dengan cepat.
“Why are you keeping this picture with you? Are you a lesbian?” laki-laki itu terkekeh, menggelengkan kepalanya. Ia mengerutkan keningnya begitu ia tak mendengar jawaban apapun dari gadis yang kini terkulai lemah di hadapannya.
Shella merasakan airmata kembali membasahi pipinya, terjatuh dalam bentuk akan rasa sakit kakinya yang kini ditendang oleh salah seorang siswi yang menonton. Matanya melirik ke arah foto yang kini digenggam erat oleh laki-laki di hadapannya yang begitu ia benci. Kemarahan mulai merambat dalam dirinya begitu laki-laki tersebut meludahi foto tersebut ddengan penuh penghinaan.
Matanya terfokus pada sebuah tulisan yang ia tulis dibelakang foto tersebut. Tulisan yang ia tulis ketika ia mendapatkan sebuah keberanian dari idolanya. Sebuah kata-kata yang tak akan pernah ia lupakan. ‘No clothes or jewelry will make you beautiful, but when you learn to except and cherish you,…that is what makes you beautiful.’ Kalimat yang ia baca itu seolah terlepas dari bibir gadis berambut merah yang berada di foto tersebut, mengingat nada suaranya yang manis ketika ia mengucapkan kalimat tersebut padanya.
“Give. Me. Back. My. Picture.” Bisiknya tajam, membuat beberapa tawa berhenti. Mata melebar tertuju padanya ketika Shella mendongak ke arah lawannya dengan tatapan mengancam. Wajahnya yang berantakan tak lagi menunjukkan rasa takut sedikitpun, kini yang tergambar hanyalah ekspresi geram dan mengancam.
“What did you say?” keterkejutan melanda tubuh laki-laki tersebut, menarik rambut Shella dengan keras seolah menantang gadis itu untuk mengulangi kalimatnya kembali. Rahang gadis berambut coklat itu mengeras, menahan rasa sakitnya sebelum ia menyipitkan matanya.
“Give me back my picture, you asshole.” Ulang gadis itu dengan berani, tangannya mendorong tubuh lawannya dengan keras. Laki-laki yang tak menduga serangan tersebut melepas rambut Shella, terjatuh ke belakang dengan cepat.
“How dare you –“
“You know what? I’m sick and tired of your bullying ! High school is over ! You cannot tell me what to do anymore ! And just so you know, I’m 1000 times more precious than any of you bullies in this school. Kalian tak tahu betapa sakitnya harus mengalami 3 tahun sekolah dengan caci maki kalian serta penyiksaan fisik kalian, but I’ve had enough ! So my last message for all of you? FUCK YOU.” Jeritan gadis tersebut mengisi seluruh lapangan sekolah yang ramai, membuat tatapan tertuju padanya. Beberapa orangtua bahkan mengerutkan keningnya dengan kecewa ke arah anak mereka yang ikut menindas gadis tersebut.
Tubuh gadis ramping tersebut berjalan dengan susah payah, membawa sertifikat kelulusannya dengan bangga di tangannya. Dengan sekali hentakan, ia menampar wajah yang begitu ingin ia tampar selama 3 tahun masa sekolahnya. Fred, laki-laki yang membuat hidupnya terasa seperti neraka. Tersenyum puas, ia melap foto yang kotor itu di baju Fred sebelum berjalan pergi.
“You’ll always be a loser, Nerd ! Remember that !” baru beberapa langkah, Shella berhenti ketika ia mendengar teriakan Fred dari kejauhan. Matanya melihat ke arah foto yang ada di tangannya, dan ia yakin akan sebuah jawaban. Ia menengok ke arah kerumunan yang memandang tubuhnya dari belakang, tersenyum sebelum menjawabnya dengan pasti.
“I’m proud to be a nerd.”
Dan dengan kepercayaan diri tersebut, ia melangkah dengan senyuman lebar, siap membebaskan masa lalu high schoolnya yang buruk di belakangnya dan menyiapkan dirinya untuk masuk ke universitas di Los Angeles.
She’s proud to be a nerd.
________________________________________________________________________________
Hey babes.. First teaser :)
Dedicating this chapter to Vithza (my nickname for her) for making me feel proud of who I am..
and basically supporting everything I do, and make.. She's a great inspiration to me in sticking up for myself and letting the world know it's okay to be imperfect.. Cause we have to find people who loves you for those imperfect things. And I'm pretty confident in saying that Vithza loves my imperfectness..and I love hers too.
Thank you for always being there for me, Vithza.. ILY.xx