Jeritan seorang gadis yang memekakkan telinga memecah keheningan tebal di ruangan luas yang memiliki hampir 40 kaca itu. Udara dingin yang berhembus dari pendingin ruangan tak berarti apapun dibandingkan tekanan serta siksaan fisik yang sedang dialami 5 orang gadis. Empat dari lima gadis tersebut sedang berdiri dengan posisi tegak di hadapan kaca, semuanya memakai tutu balet dengan rapi. Namun satu dari kelimat gadis itu kini sedang tertulungkup di atas lantai, wajahnya menunjukkan rasa sakit sementara tangannya mengusap pergelangan kakinya secara perlahan untuk mengurangi rasa sakit yang ia rasakan.
“Again !” hentakan suara keras seorang wanita menggema di ruangan luas itu seiring dengan dentingan sepatu hak yang mengalami kontak dengan lantai. Seorang wanita berambut pirang ombak berjalan keluar dari balik salah satu lemari besar yang ada di ruangan tersebut, tangannya terlipat dengan rapi di hadapan dadanya.
Keempat gadis yang masih berdiri itu memaksa tubuh mereka untuk melakukan putaran balet yang sama, mengulangi gerakan rutinitas yang telah mereka lakukan selama 6 jam terakhir tanpa istirahat. Mata dingin wanita berambut pirang itu terjatuh pada gadis yang kini masih terisak perlahan di atas lantai, wajah kerasnya tak memberikan ekspresi apapun.
“Did I tell you to stop?” tanya suaranya yang tegas, melangkah ke arah keempat penari lainnya, tangannya menepuk pelan pundak salah satu penari yang memposisikan tangannya di tempat yang salah. Gadis yang terluka itu menggelengkan kepalanya, setetes airmata kembali mengalir keluar ketika rasa sakit menyebar di seluruh pergelangan kakinya yang kaku.
“No, ma’am.”
“Lalu untuk apa kau berhenti? Get up and do the rutine or your out.” Nada yang dikeluarkan oleh wanita tersebut sama sekali tak keras atau berapi-api dalam kemarahan, melainkan dingin dan seolah bosan oleh hal yang sedang terjadi di depan matanya. Kedua mata gadis yang terluka itu melebar, terkejut akan pilihan yang diberikan padanya.
“But.. I just want some rest, Ma’am.” Kegugupan mulai menguasai pikiran sang gadis, tubuhnya gemetar oleh rasa takut dan tangisan ketika ia melihat kesungguhan di dalam mata si wanita. Dengan susah payah, tangannya meraih pegangan di samping tubuhnya dan berusaha membangkitkan dirinya. Kakinya yang terlihat kaku mulai berdenyut dengan menyakitkan. Si wanita bahkan tak mempedulikannya, masih sibuk mengatur keempat penari lainnya yang masih melakukan gerakan rutinitas mereka.
“Get out.” Si gadis baru akan melakukan hal yang sama ketika kalimat dingin tersebut memotong gerakannya, membuat tubuhnya membeku. Wajahnya memucat ketika si wanita menunjuk ke arah pintu keluar ruangan tersebut dengan jemarinya yang lentik, kakinya yang jenjang bergerak tak sabar di atas lantai.
“But –“
“I said get out.” Ulang wanita itu, masih menunjuk ke arah pintu keluar. Gadis itu menatapnya selama beberapa detik sebelum ia menggelengkan kepalanya dan berlari keluar dari ruangan dengan airmata masih mengalir di pipinya. Menurunkan tangannya yang menggesturkan pada pintu keluar, wanita itu menepuk tangannya dalam sebuah simbol bahwa para penari akan mendapat waktu istirahat.
“Kalian boleh beristirahat selama 5 menit, tetapi jangan lupa untuk makan hanya satu buah apel, dan minumlah 2 botol red bull. No burgers or any other foods.” Para penari menganggukkan kepala mereka dengan cepat sebelum berjalan keluar ruangan tersebut. Si wanita menggelengkan kepalanya ketika ia mendengar suara muntahan menggema di lorong.
“Ma’am, Brianna baru saja muntah. Can she have a rest?” salah seorang penari yang berambut hitam kembali masuk ke dalam ruangan, wajahnya menunjukkan ekspresi takut ketika pandangan si wanita mengeras.
“Tell her to get the fuck out of this place, dan jangan pernah bermimpi untuk menjadi sebuah balerina lagi. Never again.” Keringat mulai mengucur dari wajah gadis berambut hitam itu, tangannya gemetar di gagan pintu dalam usahanya untuk menahan airmata yang baru akan mengalir keluar. Namun mengetahui bahwa wanita keras di hadapannya tak menyukai airmata, ia menganggukkan kepalanya dengan perlahan sebelum menarik airmatanya kembali dan berjalan menuju sahabatnya yang impiannya akan dihancurkan oleh keputusan dari mentor mereka.
Menghembuskan nafas dengan lelah, wanita berambut pirang itu menyandarkan tubuhnya yang sempurna pada dinding kaca yang dingin, merasakan udara di sekitarnya mulai berputar perlahan seiring dengan setiap tarikan nafas yang ia ambil. Ketentraman dari musik klasik yang masih mengalir dari tape kecil di pojok ruangan memberikan sebuah relaksasi pada dirinya. Bahkan suara pintu ruangan yang terbuka tak membuatnya terusik.
“You know, kurasa kau terlalu keras pada mereka.” Suara serak dan dalam mengganggu rancangan tarian yang sedang dibangun oleh si wanita pirang. Matanya membuka untuk bertemu dengan sosok muda asistennya yang memiliki rambut coklat dengan quiff tinggi, dasi berwarna biru menggantung rendah di lehernya. Kekehan terlepas dari bibir sang wanita.
“Semua orang membutuhkan ambisi. Agar ambisi tersebut dapat berhasil, semua orang membutuhkan disiplin. Meet the dicipliner.” Menjawab dengan nada ringan, si wanita menunjuk dirinya sebagai ‘the dicipliner’ dengan sebuah senyuman puas di bibir merahnya yang penuh. Asistennya hanya dapat memutar matanya sebelum menyerahkan beberapa berkas klien baru atasannya, tertawa kecil ketika kerutan timbul di wajah wanita berumur 25 tahun tersebut.
“Oh come on ! Kau tahu aku benci kalau kau hanya meletakkan file client begitu saja. Kau harus memberiku detail dan pro contra di setiap client.” Ia memprotes dengan tegas, menarik lengan asistennya yang baru saja akan berjalan keluar. Menyerah pada atasannya, ia mengambil salah satu map berwarna hijau yang ia bawa dan membukanya.
Begitu mata abu-abu si wanita terjatuh pada sosok gadis berambut merah yang ada di foto tersebut, ketertarikan membara di dalam dirinya. Entah apa yang menarik dari gadis itu, namun ia dapat melihat sebuah potensi besar pada gadis itu, tak seperti ketika ia melihat potensi-potensi lemah clientnya yang lain. Ia sedang menatap seorang bintang.
“This is Gabriella Clay. Ia sekarang merupakan salah satu model yang akan menjadi calon Victoria’s secret angel. She needs you to help her expand and know more about the bussiness. Ia masih dianggap baru, jadi ia butuh bimbingan ekstrem untuk karirnya.” Jelas laki-laki berambut coklat tersebut. Tangannya baru akan meraih map selanjutnya ketika gerakan selanjutnya mengejutkan sang asisten.
“Tak perlu mencari yang lain. Just go and find all about this Gabriella Clay. Aku ingin tahu semuanya. Sekolahnya, lulusannya, alamat, kontak yang bisa dihubungi, latar belakang keluarga, dark pasts, how she eats, everything. Aku mengharapkan semuanya sudah tersusun dan terorganisir dengan rapi di atas mejaku dalam waktu 1 jam.” Mata abu-abu wanita itu melirik ke arah jam tangan kulitnya yang mahal sebelum kembali berjalan ke arah tempatnya semula.
“Are you serious?”
“Sebaiknya kau cepat. Aku tak akan segan untuk memecatmu jika kau telat hanya semenit saja.” Cengiran di wajah wanita tersebut mungkin terlihat seperti sebuah candaan bagi mata awam, namun bagi orang yang sudah mengenalnya, mereka tahu dengan jelas untuk tak main-main dengan cengiran tersebut. Laki-laki berambut coklat itu mengutuk pelan sebelum berjalan dengan cepat ke arah pintu, menghentikan tubuhnya selama beberapa detik sebelum menengok ke arah atasannya kembali.
“Kau tahu, kau bukan seperti sebuah dicipliner di mataku..” kedua alis si wanita mengangkat, menunggunya untuk melanjutkan.
“Your like the mother of Devil itself.” Gumam si asisten sebelum menghilang dibalik pintu besi yang besar itu. Terkekeh dengan perlahan pada dirinya sendiri, si wanita melarikan jemarinya yang ramping di dalam rambut pirangnya yang terawat.
“Meet the mother of Devil, Francine Guilermo Plaiten.”