Hembusan udara segar berputar disekeliling tempat terbuka tersebut, menyatu dengan harumnya asin dari air laut yang berdebur. Ombak mulai bergerak dengan semakin keras, menyapa pendengaran dua sosok yang sedang terduduk dalam, menghadap ke arah kelamnya laut di hadapan mereka. Kedua tangan yang terkait itu terlihat saling meremas sesekali, meyakinkan pasangan mereka bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bahwa apa yang akan diucapkan oleh salah satu sosok tersebut tak akan mengubah hubungan mereka saat ini.
Gadis berambut coklat tebal itu menengok ke arah laki-laki di sebelahnya, mengambil pemandangan indah orang yang ia cintai. Rambut pirang pasangannya tertiup angin dengan perlahan, bergerak sesekali seolah sebagai peringatan pada gadis itu bahwa lelaki tampan di sebelahnya ini adalah seorang manusia hidup dan bukannya seorang malaikat yang membeku. Tetapi tentu saja dengan rambut berwarna pirang indah serta mata biru cerah yang terlihat itu, laki-laki tersebut lebih menyerupai seorang malaikat ketimbang seorang manusia yang sedang berduka.
“Niall, please say something...” akhirnya suara lemah itu tak tahan akan sunyinya keadaan di sekitar mereka, memecahkan keheningan tenteram tersebut dengan sebuah kalimat permohonan. Laki-laki pirang itu terus menatap ke arah pantai, bahkan tak mengeluarkan reaksi apapun akan panggilan gadis tersebut.
“I’m sorry.. aku tahu aku tak seharusnya melakukan ini padamu. But you have to understand bahwa aku tak mungkin menikah denganmu sekarang.” Panasnya airmata mulai menyebar di mata gadis tersebut, hampir terjatuh ketika ia mengalihkan pandangannya dari Niall ke arah laut lepas. Ia tak tahan harus berdiam seperti ini, tak menyelesaikan masalah yang telah timbul selama beberapa bulan terakhir.
“Tell me Valen, do you love me?” Niall bertanya dengan lirih, suaranya mantap namun penuh dengan rasa takut akan jawaban yang belum terlontar dari bibir kekasihnya. Tubuhnya menegang ketika Valen menatapnya dengan pandangan terkejut.
“Tentu saja. Don’t ever doubt that !” membalasnya dengan nada terkejut, Valen menggelengkan kepalanya dalam ketidakpercayaan bahwa Niall akan mempertanyakan perasaan gadis itu padanya. Kerutan mulai timbul di kening Niall yang masih tak mengerti akan situasi mereka.
“Lalu mengapa kau menunda pernikahan kita hingga 2 tahun?” tanyanya dengan bingung. Rasa sakit dan sesak mulai memenuhi dadanya ketika ia mengingat hari dimana mereka telah mempersiapkan segala macam keperluan untuk pernikahan mereka. Berbagai macam bunga telah menghiasi gereja megah itu dengan luarbiasa. Gaun pengantin telah siap. Orangtua dari kedua pasangan telah menangis dengan bahagia, siap melepas anak mereka untuk memulai hidup baru bersama pasangan hidupnya.
Musik mulai berdentang dengan tenang, mengisi ruangan gereja tersebut dengan luarbiasa, mensignalkan bahwa sang mempelai wanita harus segera melangkah keluar dari tempatnya dan pergi menuju calon mempelai pria yang siap menunggunya. Sang mempelai pria telah berdiri dengan senyuman lebar, ditemani oleh bestmannya yang berambut coklat. Louis. Dentingan musik terus mengalir, pintu telah terbuka, namun yang berlari ke dalam gereja tersebut bukanlah sosok gadis berambut coklat seperti yang diharapkan oleh para tamu ataupun sang mempelai pria, namun sosok gadis dengan rambut merah yang masuk dengan wajah pucat.
“She’s not here. She’s not ready.” Kata-kata itulah yang gadis itu bisikkan pada Niall, meruntuhkan seluruh harapannya untuk berbagi hidup bersama orang yang begitu penting untuknya.
“Niall, I’m just not ready yet. Aku masih memiliki impian. I’m not ready to build a family.” Valen memberikan remasan perlahan di tangan Niall, membawa laki-laki tersebut kembali dari kenangan 2 tahun yang lalu kepada masa sekarang. Kedua alisnya berkerut mengingat rasa sakit yang ia rasakan ketika itu.
“Jika kau tak menerima keputusanku, it’s okay. I understand.” Gadis itu menyambung, menundukkan kepalanya dengan kecewa ketika Niall masih tak merespon kalimat penjelasannya. Melepas tangannya dari genggaman Niall, ia beranjak bangun dari pasir putih itu untuk kembali ke arah mobil hitam yang terparkir di dekat mereka.
Niall masih terduduk sendiri, meresapi segala yang telah terjadi. Mungkin ia memang terlalu terburu-buru. Mungkin ia tidak cukup memikirkan apa yang Valen inginkan. Ia bahkan tak tahu apa cita-cita Valen yang belum sempat ia gapai itu. Ia bahkan tak menanyakan apa yang Valen ingin lakukan ketika mereka akan lulus dalam beberapa bulan lagi.
Namun dari semua itu, satu hal yang Niall tahu. Ia tak ingin melepaskan Valen. Ia rela melakukan apapun bahkan yang paling menyakitkan asal ia tetap bersama Valen. Nothing feels better than being with Valen.
“Valen ! Wait !” beranjak berdiri, kakinya berlari dengan cepat menuju mobil, membuka pintu mobil tersebut dan menarik wajah Valen yang terlihat bingung ke arahnya. Bibir mereka menyatu dengan cepat, mengingatkan Niall bahwa Valen adalah pilihan terbaik yang telah ia buat seumur hidupnya. Mereka menjauhkan wajah mereka beberapa menit kemudian, saling tersenyum.
“What is your dream?” desah Niall, menatap ke mata Valen yang bersinar dengan senang.
“I want to be a designer. Making designs of clothes, shoes, everything.” Jawab Valen dengan kekehan perlahan. Niall menganggukkan kepalanya sebelum berjalan ke arah bangku penumpang dan membuka pintunya, mendudukkan tubuhnya ke atas bangku kulit yang nyaman tersebut.
“Kalau begitu kurasa kita harus mengejar impian itu terlebih dahulu sebelum melihat little Viall berlari keliling rumah, huh?” tangan Niall memutar kunci mobil dan menyalakan mesinnya, mengedipkan mata ke arah Valen yang melebarkan mata dalam takjub. Rasa bahagia memenuhi Valen ketika ia memeluk tubuh Niall dan menciumi wajahnya.
“Thank you, thank you, thank you. I love you Niall. Kau yakin ini tak apa-apa?”
“I love you too. And it’s fine really. Lagipula kita masih memiliki sisa hidup kita untuk bersama. Mengapa harus terburu-buru?”
Jemari mereka terkait dengan lembut sementara Niall menyetir mobil mereka menjauh dari rumah pantai tempat mereka bertengkar selama beberapa bulan ini, meninggalkan seluruh kenangan buruk di belakang mereka dan berjalan maju menuju harapan baru dalam pengejaran mimpi Valen.
So will love wait?
Yes it will. :)