Cinta Dan Air Mata

86 1 0
                                    

"Jika senja dapat mengubah semua cinta, mungkin takkan pernah ada air mata pada jingga. Meleburkan segala hasrat untuk merindu."

Mawar yang pernah kau selipkan dilebatnya rambut hitam. Nyanyian merdu yang sempat kau dendangkan kala kuberduka. Bahkan kuncup mimpi-mimpi yang sempat kau tawarkan. Kini semuanya bagaikan kapas, beterbangan tanpa arah. Begitu mudah dan ringan.

Semua yang pernah kau berikan hanya akan menjadi cerita dan kenangan bagiku. Untuk malam yang bersedia kulalui dan demi waktu yang selalu kunikmati. Berlalu begitu saja tanpa dirimu.

Perjalanan malam yang tak pernah bisa kukuasai, terasa lenggang dan sunyi. Biasanya disepertiga jalanku, aku bisa menemukan dirimu. Entah dengan siapa pun kau di sana. Memapah jalanku yang terhuyung, karena duri cinta yang tak kunjung hilang.

Malamku yang sunyi kini menetes bagai getah rindu yang mematikan. Kehilangam bintang-gemintang dan cahaya purnama.

Entahlah aku masih tak bisa mengerti bagaimana aku harus bertahan. Tertawa diatas deruan air mata. Sehatusnya kau menyaksikan pertunjukkan cinta tanpa jeda.

"Tak usah kau buang tetes air matamu itu, juga cinta yang semakin bersemi di hatimu. Kau cukup memahami bahwa waktu tak pernah bisa untuk memihakmu. Kau juga harus mengerti bahwa cinta ini hanya dapat untuk kukagumi bukan untuk kau miliki. Jangan pernah berpikir bahwa Tuhan sejahat ini kepadamu. Kau salah, semua ini justeru akan membuatmu semakin yakin akan perjalanan cinya yang sebenarnya. Berhentilah mengemis cinta kepada dia." Matamu semakin tajam menatap dua bola mata yang selalu kutakuti kehadirannya.

"Aku...aku tak ingin kehilangannya. Sudah cukup aku merasakan tersiksanya rindu tanpa cinta. Tentunya kau mengerti bagaimana rasanya tersakiti dengan harapan. Lantas aku harus begitu saja melepaskannya, meski waktu tak pernah berpihak kepadaku. Kau salah aku takkan pernah."

"Seharusnya aku dari dulu tahu, bahwa kau tak pernah bisa merestui kekagumanku padanya. Sebenarnya aku tak bisa menerimanya, tapi apa boleh dikata aku tak punya hak untuk hal itu. Semua sangat jelas, bahwa kau tak pernah sedikit membuka hatinya untukku."

"Kuharap kau juga dapat memahami perasaanku. Tak semudah itu melupakannya. Sekecil apa pun tentang dirinya, tak dapat kuhapus dari memori hatiku. Kau tahu, itu semua karena aku mencintainya."

"Hahh...kau memang selalu menang dengan keegoisanmu. Kau selalu keras dengan ambisimu. Tak usah kau berdebat tentang cinta. Aku lebihntahu soal itu daripada dirimu. Lebih baik kau simpan segala angan-anganku. Aku terlalu muak dengan penjelasanmu." Matanya semakin tajam menatapku. Setajam duri yang pernah menusuk ulu hatiku.

"Tapi aku mencintainya." Air mataku menghujam menuruni pipi ranumku, tak kuasa aku menahannya. Setiap bulir-bulir air mata ini, telah menjadi saksi betapa terlukanya diriku.

Matahari mulai memedar diufuk Barat, kilau cahayanya membias diluasnya cakrawala. Semilir angin merengkuh manja tiap helai rambutku. Ahh... hal ini yang selalu kurindukan. Entah sudah keberapa kalinya aku terpesona dengannya.

Lima menit yang sempurna, matahari kembali keperaduannya membawa sejuta cerita. Mungkin salah satunya tentang aku dan dia. Aku masih mengendap-endap kehadiran tirai malam yang kukira akan sepekat lusa.

Benar saja, malam ini semakin legam tanpa purnama di altarnya. Gemuruh yang membuncah dari mega, membuatku merapatkan jaket tebal. Memandangi orang-orang yang berlarian kecil untuk segera sampai ke rumah mereka, sebelum malam mengamuk dengan ganasnya. Sedangkan aku, masih sibuk menerka-nerka yang akan terjadi nanti. Tepatnya bersama dia. Aku tak sempat menanyakan tentang dirinya.

Rintik yang jatuh semakin lama semakin deras. Bulir-bulirnya terasa mencibir ragaku. Rasanya sama seperti orang yang sedang meradang karena cinta.

Aku selalu suka menanti hujan seperti itu, berlarian diantaranya, menari sesuka hati. Tahukah kau, bersama dengan hujan yang turun air mataku turunnlebih deras.

Suatu saat nanti ingin kubagi, ingin kuceritakan bagaimana sensasi menikmati hujan, air mata, dan cinta dengan caraku sendiri. Meluruh, menghilang, dan tak berbekas. Selalu begitu sampai hujan reda dengam sendirinya.

Tak usah terlalu muluk-muluk keinginanku, cukup kau dapat merasakan apa yang kurasakan saat ini. Terlalu sederhana dan bahagia bukan ? Lantas kau tak perlu menyiapkan seribu bunga mawar untukku, tak usah. Apalagi cincin bertahta berlian seribu karat, itu tak perlu. Cukup sediakan cinta dan kasih sayang, tangan yang selalu setia untuk menghapus air mata, dan juga hati yang selalu lapang untuk kusinggahi suatu saat nanti.

MENANTI RINDU PURNAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang