KARENA AKU CINTA TANPA SENJA

15 1 0
                                    

Menatap luas hamparan hijau rerumputan di padang tandus ini membuatku merasakan ngilu pada hati. Nyeri yang tak tertahankan dan menusuk mata tanpa rentena. Nyiur suara merdumu menentramkan hasrat dalam jiwa. Semuanya terjadi beberapa waktu yang lalu. Menyisakan lebam pada hati ini.     

Kuperkenankan dirimu memasuki alam bawah sadarku, turut serta dengan hatimu. Kala itu kau sempurna menyenuh dinding hatiku, membawanya lari jauh tanpa ampun. Sadarkah dirimu bahwa kau telah membawa hatiku, sepenuhnya.     

Setiap nafasmu yang kurasa mampu membangkitkan aroma jiwa yang layu. Kehadiran bayangmu mampu menuntun langkahku disepi yang sunyi. Mungkin kini kau kekal abadi di dalamnya.  ataukah mungkin kau mematung dan berdiam diri pada riak kehampaan. Baiklah, aku akan mengikuti arah kakimu melesat tak terarahkan.      

"Kau tahu mengapa hujan selalu memberikan kesejukan ditiap tetesnya ?" Mata elangmu mengecil menatapku diam.       
 
"Saat datang, ia membawa cerita tentang dirimu. Menyampaikannya penuh rindu kepadaku, mengutarakan janji kehidupan pada daku, dan ia juga mengabarkan perihal cintamu padamu. Kau tak mungkin tau apa yang ia sampaikan padaku saat ia datang."

"Aku sebenarnya tak menyukai hujan yang datang tiba-tiba menghujam. Aku tahu sakitnya saat ia datang. Bukan karena lama tak berjumpa, tapi sakitnya karena perpisahan yang tak pernah menemukan muaranya. Perlahan ia akan rapuh dan selanjutnya hanyut entah ke mana perginya."  

"Baiklah, aku tahu kau tak menyukai hujan. Lalu bagaimana dengan senja, yang setiap penghujung hari kita selalu menikmatinya bersama teh hangat ? Bukankah ia salah satu sosok yang sangat elok parasnya."

"Hmmm, senja. Yang kau katakan itu benar, ia berparas elok nan syahdu. Bila memandangnya terasa menentramkan jiwa. Tapi, lagi-lagi aku iba padanya, ia tak dapat muncul untuk beberapa waktu ke depan, ia harus mengalah dan ikhlas berganti tempat dengan sang malam. Aku tak dapat membayangkan betapa sakitnya ia saat itu."  
Aku menatapmu kosong diteduhnya hari yang mulai menggelap. Awan kelabu menghias dinding cakrawala. Satu dua tiga  tetes embun langit jatuh membasahi hamparan hijau nan sejuk. Menghantarkanku pada suasana beku pada hatiku.

 "Ah, rinai hujan kembali turun. Aku tak suka dengan ini. Aku benci. Andaikan aku dapat meminta, ingin rasanya aku menatap senja setiap hari."

Hujan semakin deras, kilatnya semakin menggelegar memecah singgasana nirwana. Aku menepikan hati yang mungkin tak dapat terobati lagi. Beberapa waktu lalu, kita masih sempat menikmati obrolan hangat tentang hujan dan senja.       

Berdansa diantaranya, meski kutahu kau tak menyukai hujan. Lalu, setelahnya kupeluk rindu yang beku tanpa hadirmu lagi. Membawamu serta dalam jingga yang perlahan memedar. Mungkinkah aku kembali sendiri, menikmati sedu sedan senjamu.

Menata ulang segenap hati ini seperti sedia kala, menghias kembali mimpi-mimpi yang sempat kau torehkan. Sisa kerapuhan hati ini semoga tak berkarat dan mengerak di dalam jiwa. Kau tahu bagaimana hati ini rapuh saat kau tinggalkan segenap rasa ini.

Kau hanya menyisakan cerita bagiku dan hidupku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 08, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MENANTI RINDU PURNAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang