Menanti Rindu Purnama

47 1 0
                                    

"Biarpun malam berlalu tanpa bintang, meski angin berderu tanpa dersik, juga hati menepi bersama bimbang. Diriku akan selalu menanti sang Purnama."

Hatiku berdegup kencang kala ia gemakan nama indah itu tepat di telingaku. Rasanya tak asing lagi suaranya berdendang antara dersik. Mataku masih terkagum-kagum saat melihatnya, bahkan sampai ia mengjilang di kelokan jalan sunyi itu.

Sayup-sayup cahaya mentari mulai berganti tugas dengan sang malam. Kilaunya mengintipndari balik jingga yang memesona. Sepuluh menit kemudian cahaya bulat itu melesat dari pandangan matanya.

"Hai apa yang kau lakukan di sini ? Bolehkah aku duduk disampingmu ?" Orang berparas indah itu kembali bertanya dengam pertanyaan yang berbeda.

"Iya, boleh. Siapa namamu ? Dengan siapa kau ke sini ?"

"Ahh...kau tak perlu tahu akan hal itu. Tapi, aku tahu semua tentang dirimu."

"Semuanya ?"

"Ya, semuanya. Apakah kau bersedia mendengarkannya ? Kuharap kau jangan terkejut dengan kepandaianku dan kehebatanku mengetahuimu."

Aku masih menganga tak mengerti dengan yang ia ucapkan. Semudah inikah ia dapat mengetahui semua tentang diriku. Entahlah. Ingin rasanya aku berlari.

"Baik yang pertama dari yang sering kau lakukan setiap malam, dari bingkai jendela kamu selalu menikmati bintang-gemintang yang berformasi menjadi gugusan sunyi. Dengan ditemani syahdunya malam, kau menatap bulan yang perlahan hompal lalu cahayanya mulai memedar diantara awan yang berkelompok."

"Apakah kau pernah tahu sajak lama yang selalu terucap, tentang rindu yanh tak pernah tersampaikan, bahkan tentang rasa tak bertuan. Semuanya teramat sulit untuk dilupakan. Bukan karena kau tak bisa, tapi karena kau terlalu takut untuk melepaskan."

"Bulan gompal itu setelah kau pandangi cukup lama. Teramat lama. Ia akan dengam sendirinya menghilang. Kembali pulanh. Tanpa memikirkan yang mencicipi keindahannya."

"Rindu yang kau rasakan sebenarnya tak ada bedanya dengan bulan gompal itu. Bercahaya. Memikat. Dan selanjutnya hilang ketika waktunya. Meninggalkan satu, dua, tiga, bahkan banyak kemungkinan untuk kembali bertemu malam."

Hatiku terasa sesak mendengar dan merasakannya. Bukankah itu hal yang telah kututup rapat-rapat dalam benakku. Seharusnya tak boleh satu orang pun tahu, termasuk ia. Orang berwajah cerlang. Gemetar aku menantikan penjelasan selanjutnya.

"Saat bulan hampir sempurna dialtar malam, kau selalu menyiapkan waktu untuk menantinya. Waktu berlalu melesat bagai anak panah, sempurna bulan itu bersinar bagai cahaya syurga. Kau terkesima. Kau terkagum-kagum. Lalu hal yang paling buruk terjadi denganmu. Kau sempurna terpenjara dalam ego dan keindahan yang tak kau ketahui muaranya. Dalam dan menyiksa."

"Persiapkan dirimu menanti cerita berikutnya. Tak jauh-jauh. Masih dengan tema dan hal yang sama."

Seperti yang diucapkannya, ia melesat cepat. Menghilang dengan meninggalkan cerita yang sangat menusuk hatiku. Tepat di dalam jiwaku.
♥♥♥

Malam ini, hari ketiga setelah pertemuanku dengan sosok cerlang itu. Saat itu juga hatiku merasa gelisah, seperti angin yang selalu bergemuruh pada ranting-ranting pohon.

Sebelum aku beranjak dan menutup jendelaku, kulihat satu bintang bersinar amat terang. Indah dan cantik. Ahhh... seandainya ia tahu. Ia seperti bintang dan bulan yang bahkan cahayanya jika disatukan takkan dapat mengalahkan keindahan kunang-kunang malam ini.

"Sudahlah, tak usah kau pungkiri lagi jika kau mengagumi dirinya. Aku tahu gejolak batinmu. Tak ada yang tak mungkin di dunia ini." Ia muncul tepat di belakang tempatku berdiri.

"Apa maksudmu ? Aku tak mengerti."

"Kau masih saja menyembunyikan rasamu itu. Apa kau tak lelah dengan semua ini ? Apa kau tak pernah jenuh dengan kekagumanmu itu ? Lantas jika ia sudah memiliki pendamping apa yang akan kau lakukan ? Menangis ? Bersedih ? Atau bunuh diri ?" Orang itu masih saja berbicara tentang hidupku. Tuhan siapakah dia ?

"Cukup!!! Aku tak mau lagi mendengar apa yang kau katakan. Aku mohon, cukup." Suaraku memecah kesunyian langit-langit kamar, memberontak dan terus berteriak. Air mataku mengalir begitu sempurna.

"Tak usah kau menangis seperti itu, percuma. Ia takkan pernah memikirkan dan menghiraukanmu walau sedetik saja. Kau tahu kenapa ? Karena ia tahu siapa dirinya dan siapa dirimu. Bagaimana keadaanmu dan keadaannya. Keegoisanmu cukup membuatnya risau."

"Tapi apa salahku, aku hanya sedikit berharap kepadanya. Salahkah itu ? Apa kau tak pernah merasakan bagaimana rasanya tersiksa karena cinta. Menggigil karena rindu. Kau tak pernah tahu.

"Kau yang membuat hatimu tersiksa. Bukan dia."

"Kau juga yang membuat rindu menjadi beku. Seharusnya kau tahu, tak terlalu merindukannya."

"Tapi...tapi aku menyayanginya, Tuhan." Aku terduduk persis dihadapan orang cerlang itu. Perlaham ia menjauh menghilang diantara tumpukan dan tetesan air mata."

Malam ini sempurna bulan ersinar membelah hitamnya langit luas. Formasi bintang-gemintang masih tetap sama.
♥♥♥

Embun pagi mengintip di balik bunga-bunga yang bermekaran. Mawar salah satunya. Mekar selalu dengan sempurna dan warnanya yang menawan.

Sisa-sisa letih dan air mata masih terlihat jelas. Mata sembab dan suara yang serak. Aku mencoba mengingat apa yang telah terjadi semalam. Sayangnya, hanya sepenggal saja yang kuingat. Orang berwajah cerlang dan bulan itu. Ya Tuhan, aku telah mengaguminya, bahkan lebih dari itu.

Matahari semakin merangkak naik, gemericik air kolam menambah syahdu pagi itu. Sebelum pukul 08.00 pagi, aku sudah harus tiba di kampus. Aku menelusuri jalan setapak, tidak terlalu sempit untuk ukuran umumnya.

"Banyak hal yang ingin kuceritakan padamu, andai kau bisa kumiliki Purnama. Garis tawamu yang selalu membayangiku, tatapan indah matamu yang amat memesona, juga senyum manismu yang selalu kau pamerkan. Ah... sudahlah mungkin kau hanya sebatas mimpi untukku. Dan aku tak layak untuk itu." Lamunanku terpecah kala orang berwajah cerlang tersebut tiba-tiba didekatku.

"Dia lagi yang kau pikirkan. Sungguh kasihannya dirimu. Jika kau tahu semua tentang dirinya, pasti saat ini juga kau akan memutuskan untuk tidak mengharapkannya lagi. Semoga kelak kau akan sadar bahwa harapan yang kau gadang-gadang, tidak pernah terwujud. Semakin kau mengharapkannya, maka ia semakin jauh. Semoga kau paham akan nasihat itu." Tiba-tiba ia menghilangnentah ke mana. Begitu seterusnya hingga aku dan ia bosan untuk sekadar bercakap-cakap.

"Hari ini aku mengerti Tuhan, apa yang sangat kuinginkan tak pernah kau penuhi karena aku tahu tak sepantasnya aku berlebihann. Apalagi tentang dia. Sudahlah, aku tak ingin membahasnya lagi. Tapi aku berjanji, aku akan tetap menantinya disetiap malam, selalu setia menatapnya dari bingkai jendela kamar. Semoga pemahamanku tak pernah ia abaikan. Aku tetap menanti rindumu, Purnama. Untuk pertama dan yang terakhir kalinya.
♥♥♥

MENANTI RINDU PURNAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang