Orang bilang, musim gugur itu ideal—tidak terlalu dingin atau panas. Maka lazimnya, yang akan kau lihat saat berjalan-jalan adalah orang yang memakai baju lengan panjang, atau sweter saat suhu mendingin.
Tetapi tidak dengan Sera. Ia selalu memakai pakaian hangatnya di musim gugur. Baju lengan panjang, dipadu dengan mantel. Pernah sekali, Sera mencoba untuk bertahan hanya dengan memakai kaus tipis yang dilapisi jaket, esokkan harinya, ia demam dan tidak dapat mengikuti ujian akhir. Alhasil nilainya tidak memuaskan. Dari situ, Sera selalu memakai pakaian hangatnya. Mengabaikan julukkan si tengil Gerald—'gadis tropis'.
Sera selalu menyukai malam musim gugur di kotanya. Seperti saat ini, berjalan tak tentu arah, mengamati aktivitas disekitarnya. Lampu-lampu taman menyinari jalan yang dipenuhi daun maple. Pohon belum menggagaskan semua bagiannya, masih ada yang tersisa di atas sana, menggantung di ujung ranting, menunggu untuk jatuh.
Sepasang lansia yang bercengkerama di kursi taman terlihat sangat menikmati malam ini. Mereka menyesap kopi dengan nikmat. Mungkin kedua lansia itu disergap insomnia, pikir Sera.Malam merangkak naik, pukul sebelas tiga puluh malam. Sudah lima belas menit Sera berjalan sendiri, menikmati setiap pemandangan yang tidak sama di setiap sudut.
Sadar akan satu hal, ia nekat keluar sendirian dari asrama tengah malam begini, untuk mencari makanan.
Ketika rambu lalu lintas menunjukkan giliran pejalan kaki, Sera pun menyebrang dan berbelok ke arah kanan. Dikenal sebagai Voedsel Street, restoran, tea shop, café untuk nongkrong, semua ada di sana.
Sambil menyusuri jalan, sesekali tangannya membidik kamera poket yang selalu ia bawa kemana-mana. Aktivitas malam seakan tidak ada habisnya, pedestrian masih ramai dilalui oleh pejalan kaki.
Sera berjalan dengan tenang. Ia sudah punya tujuan, Alice's Tea Shop. Kedai teh yang juga menjual pasta. Namun, ketika ia sudah berhenti tepat di tea shop tersebut, sesuatu seakan menahannya.
Matanya terpancang pada sebuah coffee shop yang terletak di ujung jalan. Coffee shop itu terlihat tenang, tidak seperti kedai-kedai lain yang terlihat mencolok dengan lampu yang menyala warna-warni, kedai kopi itu seakan tampil dengan daya tariknya sendiri. Dindingnya dilapisi batu pualam berwarna kelam. Terlihat tidak terlalu ramai, terpakir sebuah sepeda, sebuah mobil, dan dua buah sepeda motor.
August.
Begitu yang terpampang dengan ukuran sedang tepat di atas pintu kafe.
Mantap, Sera berjalan di atas trotoar menuju ujung jalan.
*
Sera mendorong pelan pintu kafe. Lonceng yang ditempel di tengah pintu berbunyi nyaring. Beberapa barista August melihat kearahnya dan tersenyum. Seorang dari mereka, wanita muda cantik yang berada di pertengahan dua puluh, mengantarnya untuk duduk.
"Selamat malam, Nona. Pesan apa?"
"Jasmine tea and—"
Barista tersebut menggeleng. "Maaf, Nona. Untuk teh kami hanya punya chamomile."
Membayangkan serbuk teh dari biji bunga yang kental itu membuatnya mengernyit. "Hmm, kalau begitu vanila latte saja, dan piring kecil roti bakar kacang," tuturnya.
"Baiklah, it takes 15 mins. Anda boleh melihat-lihat kafe dahulu, nanti pesanannya akan saya antar," ujar barista baik hati itu.
Sera tersenyum. "Tentu saja—" ia melirik name tag yang dikenakan si barista. "—Marrie Lou."
Marrie mengangguk seraya tersenyum, sebelum meninggalkannya.
Sera mengedarkan pandangannya. Seluruh sudut ruangan dipenuhi alunan musik piano Moon light sonata, yang terdengar sedih ditelinganya. Tembok August dihiasi foto polaroid bergaya retro dengan warna black and white.
Lampu kuning digantung menggunakan tali secara berjejer, menghangatkan suasana.Sera membalikkan badannya yang tadi membelakangi salah satu sisi kafe. Ia terpana. Bersusun sampai atap buku-buku yang diletakkan tidak beraturan, terlihat berdebu.
Tepat di depan rak buku raksasa itu, terdapat empat meja yang sepertinya khusus untuk pengunjung yang ingin membaca.
Baru saja Sera mendaratkan bokong pada salah satu kursi tersebut, ketika terdengar sebuah suara. "Permisi, Nona? Ingin menyantap pesanan Anda disini?"
Sera menoleh. "Ya, tentu saja, Lou."
Marrie Lou mengerutkan kening sambil tersenyum. "Lou? Orang memanggiku Marrie," tukasnya lucu.
Sera menggeleng dengan antusias. "Tak apa. Lou terdengar seperti Louisa, nama favoritku."
Barista cantik itu tertawa. "Namaku Marrie Louissa. Double S."
"Wah benarkah? Kalau begitu aku akan memanggilmu Lou saja."
Lou terkekeh. "Nevermind, dan siapa namamu?"
"Sera Rivera. Lima belas tahun. Senang berkenalan denganmu."
"Oh karena kau menyebut umur, aku dua puluh tiga. Omong-omong, kau mengingatkanku pada Dakota, adikku yang seusiamu. Dan senang berkenalan denganmu juga."
Sera menampilkan cengirannya untuk merespon perkataan Lou.
"Sera, aku harus kembali bekeja. Bicara padamu kapan-kapan. Daah, adik kecil," ia menepuk puncak kepala Sera dan berlalu.
Setelah beberapa kali menyesap vanila lattenya, Sera bangkit dari duduknya, mencari buku diantara ratusan banyaknya. Tangannya memilah buku dengan seksama. Sera baru menyadari, kalau buku-buku ini bisa diambil dari dua sisi.
Ketika ia melihat sebuah buku dengan tulisan 'Jane Austen' terpancang besar, ia langsung menarik buku itu keluar dari rak. Tetapi sebuah tangan menahannya dari arah yang berlawanan.
Tangan itu menggeser buku-buku, sehingga terlihatlah seorang lelaki remaja seusianya. Ia menunduk demi menatap wajah Sera. "Je... dit nodig?"
Sera memasang tampang bingung.
Lelaki itu tersenyum kecil sembari menunjuk buku yang mereka pegang. "Kau butuh buku ini?" tanyanya dalam bahasa inggris.
Sera memperhatikan lelaki ini teliti. Rambutnya berwarna coklat gelap, begitu pula alisnya. Warna kulitnya tidak terlalu pucat, dan badannya tinggi jangkung. "Nah," ucapnya pelan seraya menggeleng.
Lelaki itu mengangguk dan mengulum senyum. Ia berjalan menuju meja yang terpaut sekitar dua meter dari mejanya. Ia menyesap cangkir yang berisikan kopi, entah jenis apa. Kemudian kepalanya menunduk, menandakan ia sedang membaca dengan serius.
Sera menghela napas dan bersender pada kursinya sambil terus menatap lelaki remaja tadi. Sepertinya, August tidak akan dikunjungi oleh seorang Sera Rivera sekali seumur hidup. []
*
16-01-16
KAMU SEDANG MEMBACA
Books, Coffee, and August
Teen FictionBuku; dilatari sebuah tempat bernama Woolsthorpe. Kopi; ditemukannya di sebuah kedai bernama August. August; tempat bertemunya dengan seseorang. Intinya, kehidupan seorang Sera berkaitan dengan tiga hal; buku, kopi, dan August.