winter and its festival

119 14 4
                                    

Sesuatu seakan membangunkan Sera dari tidur lelapnya. Ia mengucek matanya sebentar, setelahnya bangkit lalu memakai sandal bulunya yang berbentuk kelinci.

Hari masih sangat pagi, pukul 05.10. Cuaca pagi yang dingin semakin menusuk dengan kehadiran pendingin ruangan. Sera lantas memakai jaket tidurnya. Ia membawa segelas susu stroberi panas yang masih mengepul di mug ke kasur. Spot ini sangat menyenangkan, terdapat jendela besar yang tertempel tepat di samping tempat tidurnya.
Dengan nyaman ia membaluti tubuh dengan selimut super tebal, sementara kedua tangannya memeluk mug yang masih panas. Hangat sekali.

Savannah belum bangun. Gadis itu semalam movie marathon hingga jam dua pagi. Karena tidak ada yang bisa diajak mengobrol, Sera hanya menatap pemandangan kotanya dari ketinggian lima belas lantai.

Semburat jingga masih tertinggal di sudut langit, membaur dengan hamparan biru. Lalu lintas masih lengang, sekali dua kali mobil lewat. Tetapi lebih banyak orang yang berjalan kaki. Bakery-bakery sudah mulai buka, siap menjualkan pastrynya. Beberapa petugas lalu lintas yang berpatroli tampak membantu orang yang hendak menyebrang.

Dengan teliti Sera memperhatikan apa yang terjadi di bawah sana, seperti tengah mengerjakan soal aljabar. Sesekali disesapnya susu yang mulai kehilangan hangatnya. Iseng, jarinya bergerak membentuk pola abstrak di jendela yang tertutup embun pagi. Ketika asyik mencorat-coret, setitik air menetes di jendela. Sera mengerutkan kening, tes tes tes... air itu semakin banyak.
Sera menunduk memperhatikan jalan raya. Orang-orang segera menyingkir untuk berteduh di kedai roti, beberapa di antaranya mengeluarkan payung.

Sera tersenyum senang. Salju pertama di bulan Desember!

*

Sera mengangkat tangannya dan saat itu juga salju yang sedang turun mencair ditangannya yang telanjang. Ia selalu menganggap salju pertama pada bulan Desember adalah pertanda baik.

Tadi, ketika melihat setetes salju mampir di jendela asramanya, saat itu juga ia memakai mantel super tebalnya dan langsung memutuskan untuk berjalan-jalan. Dan disinilah ia, berjalan dengan sepatu boot hitam kesayangannya, di bawah guyuran salju.

Tampaknya semua orang bersuka cita untuk turunnya salju pertama. Jalanan sekarang sudah lumayan padat, kedai kopi penuh oleh bapak-bapak yang sedang bersenda gurau sambil menikmati cangkir masing-masing. Sepasang suami istri memasuki bakery dengan wajah antusias. Sera menerka mereka akan membelikan banyak roti untuk anak-anaknya. Seorang pemuda berjalan dengan anjing husky yang mengiringinya.

Karena perutnya yang keroncongan, Sera memutuskan untuk sarapan di Alice's Tea Shop. Ia membelokkan arah jalannya menuju Voedsel Street.

*

"Sera!" Seorang pria berperut tambun memeluknya erat.

Sera tertawa kecil. "Hei Pip."

"Kau sudah sombong ya? Padahal biasanya tiap dini hari kau akan mampir karena kelaparan." cibiran Pip membuat Sera dan Alice--istri Pip tertawa.

Alice tersenyum hangat. "Kemarilah. Aku tahu kau sangat merindukan racikan tehku." Mereka bertiga duduk di sebuah meja bulat dekat jendela, setelah sebelumnya Pip memerintahkan asistennya untuk melayani para pelanggan.

"Bagaimana harimu, Sera? Lama tak melihatmu," Alice membuka percakapan. Wanita yang sudah berkepala empat itu terlihat antusias.

Sera mengangkat bahu. "Tidak ada yang berubah, Al. Aku tetap menjalani kehidupanku yang biasa di asrama."

"Benarkah?" tanya Pip. "Kau terlihat bersemangat hari ini."

"Ah, ya." Sera terkekeh. "Bagaimana tidak, salju pertama? Semua orang menyukai itu."

Books, Coffee, and AugustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang